Tao Tei adalah monster yang sekilas mirip Tyrannosaurus Rex dengan satu mata hitam kekuningan yang terletak di bahu kanannya. Monster ini lahir dari keserakahan manusia yang tak mengenali batas yang membuatnya hancur. Â Ia akan selalu menyerang untuk mengingatkan buah dari keserakahan akan melahirkan pemusnahan massal peradaban, bukan saja di daratan Cina.
Yusran Darmawan telah menunjukan jika The Great Wall yang disutradarai Zhang Yimou adalah film berkarakter "Whitewashing". Yakni film yang selalu menghadirkan orang kulit putih, Kaukasoid, selalu sebagai pahlawan; semacam kultus kulit putih tanpa pernah retak. Saya kira, benar adanya.
Terlepas dari sisi yang memuakkan ini, satu hal menarik yang perlu dilihat adalah keterasingan manusia atas dirinya. Terlebih-lebih ketika manusia terjatuh pada naluri subhuman, yakni keserakahan atas penguasaan sumberdaya alam dan ambisi untuk menaklukan dan menguasai teritori. Tao Tei adalah simbolisasinya.
Ada percakapan antara Jing Tian dan William yang merenungkan kembali apa sebab mereka bertempur. William dari merupakan wakil Barat bertempur untuk bertahan hidup. Secara terang, William bahkan mengutip prinsip yang disebut Darwinisime Sosial. Sedang bagi Jing Tian yang cantik itu, berperang adalah pengorbanan diri untuk sesuatu yang lebih besar. Yakni keberlangsungan hidup manusia dan peradabannya.
Terhadap situasi jatuhnya manusia pada naluri subhuman, film ini ingin menunjukan bahwa agar terhindar dari kepunahan ras, manusia Barat (Kaukasoid, Anglosaxon) dan Timur (Mongoloid, Cina) harus berkolaborasi. Sebagai dua negara adidaya dalam konteks kekinian, perseteruan keduanya hanyalah pertunjukan egoisme yang bodoh.
Para pemimpin politik dan militer bukan saja harus membuang visi kekuasaan mereka yang sempit. Untuk menghadapi bencana kemanusiaan karena manusia itu sendiri, dibutuhkan sumbangsih bersama dalam relasi yang setara.
The Great Wall, hemat saya, adalah imajinasi sinematik yang memiliki akar dalam kecemasan yang sama. Yaitu tentang keterasingan manusia karena dirinya sendiri. Karena itu, sejatinya, manusia tidak pernah bertempur untuk sesuatu yang datang dari planet lain. Sama halnya, apa yang disebut kutukan adalah perbuatan-perbuatan buruk manusia yang menjadi malapetaka tanpa dikenali lagi asal-usulnya dari mana.
Lewat teks pengetahuan, manusia memang telah lama dikisahkan menghuni bumi. Agama-agama Wahyu (Abrahamic Religion) pun menceritakan "momen kejatuhan manusia" lewat kisah Nabi Adam, a.s sebab kekalahan yang hanif terhadap yang dhaif.Â
Ada riwayat kelam yang menyertai 'penemuan manusia' seperti perang dan pembantaian karena klaim kebenaran, keselamatan serta superioritas yang angkuh. Dalam terang pandang Posmodernis, kita mungkin akan melihat ini sebagai matinya narasi-narasi besar yang pernah begitu gagah yang menjuduli era Manusia Modern. Sementara para pengusung panji-panji Modernisme melihat ini semacam gugat kritis terhadap perjalanan sejarah yang belum selesai.
Di dalam negeri sendiri, kita melihat pertunjukan dari pertempuran politik yang, buat saya, dimotivasi oleh kehendak yang sakit untuk berkuasa. Kondisi kubu-kubuan yang terus dipelihara bersama provokasi dua arah mungkin menandakan hadirnya keterasingan yang bersembunyi dalam gemuruh tsunami informasi.Â
Keterasingan yang tampaknya mengajak manusia dalam kubu-kubuan itu tak lagi mampu melihat batas-batas relatif dari dirinya bersama segenap kebenaran yang dipegang sembari aktif merawat banalitas dimana-mana. Ironis.