Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Radio Perjuangan

23 September 2017   09:22 Diperbarui: 24 September 2017   04:35 3025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dari Asmuni di gang Berjuang adalah Koentji, buat Someone-nya di komplek Perumahan Istana Langit, semoga selalu tersedia hari-hari yang indah karena senyumanmu. Selamat tidur."

Ketika Senyummu Hadir-nya Tika Wibisono lantas berkumandang sendu.

Detik-detik tlah berlalu. Aku sabar menantinya. Sampai nanti kan saatnya, hadirnya apa yang kudamba dalam cinta. Ku tunggui isyarat matamu. Adakah perhatianmu. Sementara  hati ini tlah bicara menanti saat.

Ketika senyummu hadir, ketika mata bicara. Terlintas bahagia.

Di kamarnya yang penuh poster kecantikan Dina Mariana, Asmuni memeluk selembar foto 3x4 yang kekuningan, matanya terpejam, angannya terbang. Foto yang dirampasnya dari kartu pengenal masa OSPEK ketika pemiliknya sedang istirahat shalat.

Angan Asmuni melukis pagi yang cerah di sebuah upacara. Seminggu baru lewat, kejuaran sepakbola antar kelas baru saja usai. Asmuni menjadi pemuncak daftar pencetak gol. Kesebelasan dari kelasnya memang hanya mampu runner-up.

"Dan mari kita sambut, pencetak gol terbanyak musim ini. Aa......smuniiiii!"

Merasa diri seolah Diego Maradona yang berjalan menyambut Piala Dunia Mexico 86, Asmuni melangkah gagah. Lensa pandangnya diputar selayaknya radar. Someone itu, dimanakah dia berbaris di bawah cerah yang bisa tiba-tiba redup bila kehadirannya tak ada?

Remaja perempuan itu berdiri dengan mata yang menatap sayu. Mata dengan kesaktian menyesap habis Asmuni ke dalam mati kata dan mati gaya. Melempar Asmuni ke semesta tak berdaya. Mata yang diinginkannya sebagai tempat paling teduh menyambut kematian, eh, belum sampai di situ. Mata dimana hari-hari tak kenal lelah apalagi menyerah berbagi kebahagiaan menghadapi kesulitan hidup sebagai pemain bola di negara bekas jajahan, koreksi Asmuni terhadap pelukisan angan-angannya sendiri.

Kriik..kriik...zzzzztt..kriik..kriik. Gemerisik ganti bersenandung. Siaran radio hilang. Di luar, langit malam dipenuhi petir berkejaran. Sebentar lagi akan hujan deras.

Asmuni bangun bergegas. Matanya melotot. Mulutnya menganga. Ketika Senyummu Hadir belum lagi tiba di bagian refrain. Ada cemas bergumul kesal yang kini pelan-pelan menikam dadanya.

"Mun, Muniiii, radio nenek dimana?"

Ya Allah..., kerongkongan Asmuni serasa lubang tambang disiram air keras.

"Nenek mau dengar siaran Wayang."

"Bisa sebentar lagi gak, Nek? Tanggung nih."

Asmuni menunda kunjungan neneknya di depan pintu. Radio itu masih menyuarakan berisik kecil yang menyiksa Asmuni dengan resah. Hujan deras di luar mulai melambat. Petir tak lagi ramai. Hening pelan-pelan merayapi.

"Kamu ini gimana sih? Bukannya bikin PR."

"Tanggung Nek, bentar lagi, 5 menit."

Maaf Asmuni, yang tinggal di gang...gang..gang apa ya tadi? Oh ya, gang Berharap adalah Koentji, lagu Tika Wibisono tak bisa diteruskan. Barusan kasetnya tergulung. Maaf ya. Semoga Someone-nya tak kecewa.

Oke pendengar budiman, kami bacakan pesanan lagu dari.....

Suara penyiar. Malam ini Asmuni kembali lelah menyambut pagi. 

***

Asmuni duduk di sudut yang agak tersembunyi. Dari situ, ia boleh merekam percakapan seluruh pengunjung kantin.

Dua meja di depan duduknya, serombongan perempuan sedang asik berkisah. Satu diantara mereka bermata sayu dengan kacamata yang menyempurnakan sihir tatapan. 

"Tadi malam aku ngirim lagu lho di radio, pada denger gak?"

"Radio apa?"

"Suara Kasih. Tadi malam sempat hilang sih siarannya. Denger kan?"

"Yah, frekuensi radio itu gak nyampe di rumahku. Lagian, kalau jam segitu, ayah senangnya denger siaran wayang." Si Mata Sayu membalas, "Lain kali lewat RRI saja."

"Lagu-lagunya RRI kebanyakan band bapak-bapak. Panbers, Koes Plus, Dlloyd-lah. Ogah."    

Asmuni menatap lembar foto di tangannya. Gemetar.

Gelap seperti memenuhi segala ruangan. Terima kasih telah menyembunyikan kekacauanku, batin Asmuni. Dungu.

Berjuang adalah Koentji!

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun