Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Korban Propaganda

20 September 2017   09:08 Diperbarui: 20 September 2017   17:43 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: id.aliexpress.com

Bagaimana propaganda dimulai? Atau mengapa propaganda harus dimulai?

Setiap kehadiran punya versinya. Setiap tubuh punya potensinya. Dan setiap bukan....selalu menjadi sasarannya.

Kau harus bersabar dan membaca cerita ini agar tahu apa yang disimpan oleh titik-titik di atas itu. Siap? Mari kita mulai dari sebuah dunia yang menjadi asal-usul cerita ini.

Saat-saat itu adalah suasana ketika kepala semestinya dimasukkan ke dalam satu cara untuk melihat dengan lebih sabar dan hati-hati. Misalnya, ketika Anastasia mengatakan bahwa kita harus menaruh curiga pada Pendidikan Kedewasaan, maka ia harus menjelaskan alasan-alasan dari sumber yang jelas.

Dan menurut Anastasia, teman sebelah bangkuku yang tak pernah kehabisan stok pesona, karena mata kuliah itu diadakan bersamaan dengan masuknya ideologi yang memenangkan Kecemburuan Antar Benua.

"Maksud saya," terang Anastasia kemudian, "mata pelajaran ini digunakan untuk mendidikan kepatuhan terhadap judul-judul yang secara rapi menyembunyikan watak melayani kepentingan si pemenang cemburu."

Sayang sekali, Anastasia tidak pernah seperti permisalan ini. Anastasia yang selalu datang dengan tubuh dan wajah sudah dipastikan, maksudku wajah yang selalu diperiksanya setiap 5 menit, tidak pernah sibuk dengan hal-hal yang tak berurusan langsung dengan tubuhnya. Anastasia hanya akan membicarakan pemerah bibir terbaru yang sedang tren, parfum terkini yang baru di-launch di Paris, dan tas apa yang sedang diluncurkan secara limited edition.

Melihat Anastasia seperti itu, kadang-kadang aku kesulitan membedakan, apakah Anastasia berada di kampus yang salah atau kampus semestinya tak pernah ada di sedetik saja hidupnya? Oh ya, Anastasia tidak pernah duduk di barisan depan. Ia selalu menyembunyikan dirinya dalam gerombolan yang menggumpal sebagai kerumunan kecil mencolok di tengah ruang kelas.

Demikian juga dengan Igor.

Igor selalu segar, seolah saja ia adalah tomat merah yang sepanjang iklim tersiram air tanpa pernah tercerabut dari tanah subur. Igor, "Satu-satunya yang kaki", begitulah beberapa teman perempuan kami menggosipkannya. Mereka seperti hendak melumat Igor dalam satu kali hisapan. Seperti melumat es krim Conello mini.

Di ruang kelas, Igor memiliki kumpulannya sendiri. Ketika guru kami yang selalu masuk kelas dengan kacamata berlensa lebar menggantung di ujung hidungnya yang kecil mulai membacakan kalimat-kalimat dari sebuah buku yang seperti kitab warisan, Igor akan terlihat sibuk dengan buku catatannya.

Sementara di sebelahnya, yang terpisah tiga deret bangku, Igor tahu kumpulan Anastisia cs sedang menatapnya dengan kehendak melumat lekas-lekas.

Aku tak pernah membangun permisalan di kepalaku tentang Igor. Maksudku, untuk apa? Aku juga ingin seperti Igor yang kala melintas dengan kesegarannya yang tak pernah lelah itu, semua detak jantung perempuan berhenti. Termasuk kepala program studi yang sudah sepuh dan sering kesulitan mewarnai kukunya yang selalu serupa pelangi.

Tapi anganku ini berhenti dan berubah di kubangan mual.

Igor ternyata hanya sibuk menggambar kartun sepanjang pengajaran membosankan berlangsung. Kartun berseri tentang pemain bola berambut gaya Harajuku dengan kemampuan selayaknya Master Kungfu. Dia pasti tidak pernah tahu, kebesaran Jepang menyimpan trauma di mana-mana, termasuk terhadap Tiongkok. Maka jangan pernah bertanya siapakah IP Man padanya. Sia-sia, yang dia tahu hanya dongeng Tsubasa.

Hanya ada dua golongan manusia yang hidup di sekitarku selama kamar yang sumpek kutinggalkan. Golongan Igor atau Anastasia. Belajar di perguruan tinggi kini kuhadapi dengan semangat minimalis. Yang penting lulus. Begitulah keseharianku yang sementara memilih berserah.

Oh iya, aku belum lagi cerita siapa aku.

Sebenarnya aku tidak pernah benar-benar sendiri. Atau, kau jangan membayangkanku serupa sosok dengan keinginan memiliki ruang untuk sendiri agar bisa tahu seberapa ku butuh kamu. Hahaha, aku tak se-eksistensialis itu. Selow, kawan.

Kumpulanku adalah orang-orang yang datang dari jauh. Persisnya pinggirannya pinggiran. Orang-orang yang sejak masih dalam buaian dipasoki kepercayaan bahwa hanya lulusan kampus terkenal yang boleh mengubah masa lalunya.

Ayahku menjual sehektar lahan pertanian dan ibu membuka warung kelontong di halaman rumah. Seorang kawan kumpulanku lebih mengenaskan lagi. Ayahnya kini terjerat lintah darat di kampung dengan kebanyakan diisi orang tua yang bekerja pada ladang-ladang kopi. Ada juga yang ayahnya harus menjual tenaga kepada tuan tanah selama lima tahun dengan imbalan seluruh biaya perkuliahan anaknya ditanggung si tuan tanah.

Karena itu, kau boleh langsung curiga, kumpulan seperti ini adalah mereka yang bertarung menggugurkan daftar sedih nasibnya sendiri. Selebihnya, kau tak perlu menambah dengan argumen-argumen sok filosof! Kau sudah melihat sendiri bukan? Ketika kamu berjuang untuk masuk di kampus terkenal, hanya ada dua kesuksesan: Igor or Anastasia Way's.

There is no alternative, kata sebuah slogan.

Sehingga, aku merasa kami adalah reinkarnasi kumpulan yang berakar pada riwayat kuno negeri ini sendiri. Yaitu kumpulan manusia yang berada di tepi sebuah peradaban dengan pembengkakan gairah pemujaan diri tanpa pernah bisa bergabung di dalamnya.

Kumpulan itu pernah memberontak. Sebuah pemberontakan yang bukan dengan mengangkat cangkul dan ketapel lantas menyerbu rumah-rumah megah dengan tubuh sempurna sedang mondar-mandir menebarkan pesona di sesama mereka sembari meneriakan, "Bebaskan Tubuh dari Monopoli Pesona!"

Mereka hanya membuat pesta kecil sesudah musim dengan pakaian yang digunakan selama kegiatan panen dilakukan. Tanpa dicuci. Sehingga bila kau hadir di pesta di tengah persawahan, kau akan dibekap aroma tanah, basah, dan bau batang padi baru patah.

Pesta panen yang tak pernah dilakukan lagi.

"Bagaimana jika kita hidupkan lagi pesta sejenis?"usul Dimitri.

"Zaman sudah jauh berjalan Dimitri. Pesta yang kau bayangkan itu bahkan telah dilupakan dari kepala generasi yang terakhir kali masih melakukannya,' jawabku enggan. Jangan menjadi reaksioner-romantik ketika terus dipapar kekalahan, Dimitri. Itu pesan tersiratku.

"Jadi? Kita hanya menerima keadaan kita yang melelahkan ini?"

Kuzmanov sejenis Dimitri, mudah naik darah dan lekas menyerah.

"Aku punya gagasan," kataku, tersenyum. Sebuah pemberontakan terbayang di kepalaku. Wahai Igor dan Anastasia, tunggulah saat kalian akan tersedu-sedu memohon padaku.

Selanjutnya, rasanya, untuk bagian ini, tak perlu aku ceritakan bagian yang getir dari rencana pemberontakan itu. Ringkasnya begini.

Hari itu, aku belum lagi selesai membacakan bagian utama dari makalah yang kutulis sesudah melakukan riset berhari-hari dengan berkeliling ke toko buku yang menyimpan berbeda tentang pesona tubuh dari belahan bumi yang lain.

Tiba-tiba, ruang kecil dipenuhi oleh Satuan Pengamanan Pesona, begitu mereka diberi nama, menyeruduk masuk dan meringkus semua orang. Sessi diskusi belum lagi dimulai, padahal.

"Mereka terkutuk subversif, tangkap semua yang ada!"

Aku melihat wajah Dimitri yang pucat pasi dan Kuzmanov yang berurai air mata. Entah apa yang terbayang di kepala mereka, apakah kelelahan ayah ibunya atau interogasi yang melelahkan dan masa-masa pengasingan di penjara sampai vonis Pengadilan Pesona dijatuhkan. Bodoh ah!

Aku dibawa ke sebuah ruang gelap. Hanya ada sebatang lilin diantara aku dan si pemeriksa. Suaranya dingin penuh selidik. Wajahnya samar-samar terlihat bundar, seperti buah labu yang diukir untuk pesta hantu-hantuan.

"Apa yang kalian perjuangkan? Menghidupan cerita lama pemberontakan?"

"Selow, Bos. Seharusnya Anda membaca makalah sebelum menuduh kami sebagai subversif dari masa lalu. Aku hanya menulisulang kisah seorang putri yang dihapus riwayatnya dari negeri ini. Raisandra, seorang cantik yang mampu bernyanyi dengan suara yang menyegarkan ketika kelelahan panen dimulai. Termasuk perempuan bernama Vonya Cornellya Dasha, yang mampu berakting sempurna di setiap opera pesta panen. Mengapa riwayat mereka tak boleh dirujuk?"

"Omong kosong! Kita bukan bangsa pengawet. Bersiaplah untuk sidang. FYI, kau sebagai inisiator memiliki daftar pelanggaran sempurna. Merancang pemberontakan dan mengancam ketentraman," katanya lekas.

"Apa itu FYI?"

"For Your Information, goblok!"

 "Aih.."

Kau sudah punya jawaban untuk bagaimana propaganda dimulai? Atau mengapa propaganda harus dimulai? Dan kata-kata yang mengisi titik-titik pada kalimat setiap kehadiran punya versinya. Setiap tubuh punya potensinya. Dan setiap bukan....selalu menjadi sasarannya?

Masih belum punya jawabannya? Ayolah, jangan menjadi Igor yang lain. Baiklah, aku berikan kata kuncinya. Bayangkanlah dirimu sebagai pemburu atau pengoleksi emas. 

Oh ya, namaku Chekovsky.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun