Saya bertamu ke wajahnya ketika luruh gerimis berjuang menghapus jelaga kesedihan di mata. Dia diam saja.Â
Seperti membiarkan seluruh sejarahnya menjadi samudera yang menampung segala rahasia: getir masa lalu, percobaan bahagia yang terus patah, serta doa-doa yang entah direstui untuk siapa. Dia menjadikan dirinya pepatah bahwa pada jiwa yang menyerah, peristiwa memakamkan kesaksian.
Saya selalu dibiarkannya bercengkerama dengan diam. Tenggorokan saya gelisah. Padahal ingin sekali saya menyapa, "Selamat pagi Jiwa, sudahkah bahagia hari ini?"
Tapi dia terus bungkam. Saya merasa disiksa seribu tahun penantian. Serupa berdiri di depan nisan tanpa kuburan.
Saya lalu mengambil selembar bunga kamboja. Pada tubuhnya yang putih, saya pernah membaca sebaris pesan tua.
Kita tak pernah memiliki bahagia yang kau harapkan dari diam di bawah gerimis.
Kita hanya diberi rasa ragu di kamu. Keyakinan di aku. Dan masa depan.
Sisanya, keberanian untuk memilih: membiarkanku tetap dicelotehi diam atau meminum gerimis dari matamu!
Saya mendoakan pesan ini di telinganya. Berharap kata-kata menghancurkan bungkam.
Mendoakan masa lalunya mati bersama pemakaman gerimis.
2017
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H