Mari kita ringkaskan saja gambar besar dari perseteruan politik kekinian yang pada akhirnya, bagi saya, akan serupa dengan ungkapan kesal Jody kepada Ben ketika mereka tiba pada penyelesaian konflik di film Filosofi Kopi 2. Persahabatan Ben dan Jody didera oleh perpecahan kecil akibat masuknya Tara yang "menanggung dosa kejahatan ayahnya". Dan juga, Brie, perempuan barista, asisten Ben, yang ternyata pemuja berat pesona Ben sejak awal.Â
Perpecahan kecil itu berakhir dengan keputusan Ben yang memilih mengurusi warisan bibit kopi almarhum ayahnya bersama Brie. Jody mengurusi kafe baru mereka di Yogya bersama Tara. Ben-Brie menjadi penyuplai, Jody-Tara sebagai penyaji. Dan untuk momen konflik bisnis-asmara yang berakhir happy ending seperti ini, Joddy hanya berujar pendek, "Taeklah!"
Keduanya terus tertawa dan berpelukan, tentu saja!
Sebelumnya, menyebut "Politik Kekinian" tidak semata soal "yang sekarang berjalan". Karena itu, kekinian bukan kategori ruang dan waktu yang kosong. Atau lebih persisnya, tidak pernah kosong. Di dalamnya, terbawa sejarah berpolitik kita sejak masa-masa awal Republik. Pada sejarah, bangsa yang besar seharusnya banyak belajar agar bisa menguasai masa depannya, kata George Orwell. Artinya, pada produk politik kekinian, yang kita harapkan adalah kualitas-kualitas baru yang membuat kita percaya representasi kita tidak salah.
Representasi.
Dalam nama representasi, kita bicara tentang organisasi politik dan orang-orang yang terpilih. Orang-orang yang membuat fungsi-fungsi legislatif bekerja menjadi keseimbangan kekuasaan. Membuat mandat kita bermakna dalam konteks kedaulatan. Kedaulatan memang tidak pernah "permanen" atau "beyond history", oleh demokrasi, eksistensinya harus selalu diuji oleh rangkaian kontestasi formil. Kedaulatan rakyat karena itu adalah tanda yang kosong.
Lantas apa yang dipertontonkan oleh representasi politik formil itu?
Pertama, kita melihat polarisasi yang mencemaskan paska-pilpres, sesudah terpilih presiden baru. Tiba-tiba saja, kubu oposisi bekerja menguasai parlemen dan menciptakan tekad bulat, akan "melawan sampai maut memisahkan bagian-bagian yang mendukungnya". Kita, atau saya lebih persisnya, menjadi cemas karena kehidupan bernegara terancam jatuh pada kubangan anarki alias kekacauan total. Kekacauan total yang saat bersamaan ditandai oleh kemenangan seseorang yang tidak memiliki irisan darah elit, baik dari blok militer pun oligarki kaum sipil.Â
Namun apa yang terjadi?Â
Tidak butuh waktu lama, tekad oposisi seumur hidup seolah kekalahan temporer politik adalah dendam kesumat gaya kerajaan, bubar barisan. Rontok ibarat daun terserang penyakit. Ibarat kerupuk yang masuk angin hanya dalam beberap detik dipisahkan dari toples.Â
Dan kita tahu, atau paling tidak seharus selalu curiga, bubar barisan paska-kekuasaan dikelola tidaklah dikarenakan oleh argumentasi berbasis visi politik. Argumentasinya hanyalah "kecemasan berdiri di luar yang berkuasa". Hitung-hitungannya adalah untung rugi yang berujung pada akses terhadap sumberdaya kekuasaan. Matematika menjjikan seperti ini dibungkus dengan retorika kosong berjudul strategi politik.
Tapi, barangkali, kecurigaan paling besar adalah matematika menjijikan itu mungkin sudah menjadi mentalitas mayor dalam gerak sistem politik. Maksud saya, ia dididikan sejak dini oleh pengorganisasian politik yang dilakukan partai-partai politik dengan penyembahan utama terhadap patrimonialisme. Maka itu, politik kita tidak melahirkan kader hanya melahirkan masyarakat fans.
Dan, Anda ingin merevolusi mentalitas politik seperti itu? Sudahilah. Rasanya Tan Malaka dan Hatta pun akan angkat tangan apalagi jenis kekinian yang lahir di zaman tenang dan gemar mengomentari isu. Berisik.
Kedua, sesudah terjadi pembelahan dan penghimpunan baru blok pendukung rezim, kita berhadapan dengan siklus kontestasi yang berlangsung di level daerah. Dimulai dari ibukota, kita melihat lagi ketegangan di dalam blok-blokan itu. Puncaknya adalah masuknya massa aksi dengan aksi berjilid-jilid dengan suara keras agama menjelang pelaksanaan pilgub karena tuduhan penistaan agama kepada Ahok.Â
Ada perkara lebih besar yang tergugat dalam ketegangan itu. Sang tergugat itu bernama Pancasila, konsensus kebangsaan yang mengikat kenasionalan kita. Terlebih, ketika masyarakat sipil (real pun digital) terus saja berisik dan saling mengumbar psy war; sumbu pendek ternyata sesuatu yang mewabah dua arah. Ujungnya, kerukunan nasional yang penuh rasa kagum dunia internasional ternyata menyisakan banyak pekerjaan rumah generasi.
Rezim mengambil langkah membangun dengan mengonsolidir unit-unit utama yang menjadi pengawal garda depan. Yang pertama adalah "menenangkan kelas militer"--yang kalau kita simak dalam laporan investigasi Allan Naim, beberapa eksponennya adalah aktor di balik ketegangan, kedua, memastikan dukungan masyarakat sipil (baca: organisasi keagamaan) berhaluan nasionalis-moderat, dan ketiga, aparatus partai pendukung. Namun itu saja tidak cukup menenangkan kembali keadaan.
Negara mana pun yang sedang aktif membangun tentu saja harus bertindak dan menertibkan lagi situasi. Geliat ekonomi membutuhkan politik yang tenang. Â Â
Dan apa yang dilakukan para penikmat representasi itu? Muncul Hak Angket untuk Komisi Pemberantasan Korupsi yang sedang giat mengejar perampok uang KTP elektronik yang ditenggarai berisi nama-nama besar lagi licin. Â Â
Awalnya saya ingin berpikir baik soal angket-angketan ini. Maksudnya, sebagai lembaga dengan status superbody, saya ingin tahu bagaimana kehidupan di dalam organisasi KPK, bagaimana mereka bekerja dan bertanggungjawab atas prosedur dan metodenya.Tidak dalam konteks mengintervensi perkara yang sedang diperiksa atau disidangkan. Saya ingin berprasangka baik kepada Fahri Hamzah dan para politisi, termasuk yang berasal dari partai pendukung rezim. Sekali saja seumur hidup saya sebagai warga negara.
Koalisi hak angket ini akhirnya "masuk angin" karena perdebatan UU Pemilu yang baru yang membuat pecah kongsi jilid 2. Serentak, media-media nasional menulis judul besar "Hak Angket Ditinggalkan Pendukungnya". Para representator itu tentu akan beretorika macam-macam, tapi maaf, saya masih percaya dalil: pikiran dikondisikan keadaan. So, memuakan!
Dari dua dinamika politik dan tegang-tegangan ini, saya tidak bicara perkara moral politik lembaga yang sudah sejak lama dibilang Gus Dur mirip Taman Kanak-kanak itu. Percakapan moral tentang mereka atau seharusnya bagaimana mereka hanya akan membentur dinding kedap suara.Â
Yang ingin saya usulkan kepada mereka dan tuan-tuan mereka, bertengkarlah dengan serius, sungguh-sungguh. Bertarunglah seperti singa terluka. Tidak usah menggunakan matematika untung-rugi atau omong kosong moral, bukankah harga diri sudah lama tak penting di politik? Tak usah bicara wakil dari kedaulatan rakyat jika hanya menyembunyikan pembelaan hidup mati Anda atas tuan-tuan Anda masing-masing. Lagi pula, sesudah selesai di dalam bilik suara, kedaulatan itu hanya menyisakan bekas tinta di jemari kelingking.
Bertengkarlah habis-habisan, wahai Tuan-tuan Mulia!
Sebab jika tidak begitu, jika terus mengulang-ulang atau malah menambah daftar panjang kelakukan representator yang memuakan, suara saya yang tak penting ini akan menjadi suara Jody yang abadi. Suara Jody di depan Ben yang tertawa terbahak-bahak.Â
Atau, memang saya selamanya hanyalah Jody di sejarah kekinian politik. Taeklah!
***Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H