Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Melihat "Jody" dalam Politik Kekinian Para Representator

4 Agustus 2017   09:44 Diperbarui: 9 Maret 2018   08:22 1646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi, barangkali, kecurigaan paling besar adalah matematika menjijikan itu mungkin sudah menjadi mentalitas mayor dalam gerak sistem politik. Maksud saya, ia dididikan sejak dini oleh pengorganisasian politik yang dilakukan partai-partai politik dengan penyembahan utama terhadap patrimonialisme. Maka itu, politik kita tidak melahirkan kader hanya melahirkan masyarakat fans.

Dan, Anda ingin merevolusi mentalitas politik seperti itu? Sudahilah. Rasanya Tan Malaka dan Hatta pun akan angkat tangan apalagi jenis kekinian yang lahir di zaman tenang dan gemar mengomentari isu. Berisik.

Kedua, sesudah terjadi pembelahan dan penghimpunan baru blok pendukung rezim, kita berhadapan dengan siklus kontestasi yang berlangsung di level daerah. Dimulai dari ibukota, kita melihat lagi ketegangan di dalam blok-blokan itu. Puncaknya adalah masuknya massa aksi dengan aksi berjilid-jilid dengan suara keras agama menjelang pelaksanaan pilgub karena tuduhan penistaan agama kepada Ahok. 

Ada perkara lebih besar yang tergugat dalam ketegangan itu. Sang tergugat itu bernama Pancasila, konsensus kebangsaan yang mengikat kenasionalan kita. Terlebih, ketika masyarakat sipil (real pun digital) terus saja berisik dan saling mengumbar psy war; sumbu pendek ternyata sesuatu yang mewabah dua arah. Ujungnya, kerukunan nasional yang penuh rasa kagum dunia internasional ternyata menyisakan banyak pekerjaan rumah generasi.

Rezim mengambil langkah membangun dengan mengonsolidir unit-unit utama yang menjadi pengawal garda depan. Yang pertama adalah "menenangkan kelas militer"--yang kalau kita simak dalam laporan investigasi Allan Naim, beberapa eksponennya adalah aktor di balik ketegangan, kedua, memastikan dukungan masyarakat sipil (baca: organisasi keagamaan) berhaluan nasionalis-moderat, dan ketiga, aparatus partai pendukung. Namun itu saja tidak cukup menenangkan kembali keadaan.

Negara mana pun yang sedang aktif membangun tentu saja harus bertindak dan menertibkan lagi situasi. Geliat ekonomi membutuhkan politik yang tenang.   

Dan apa yang dilakukan para penikmat representasi itu? Muncul Hak Angket untuk Komisi Pemberantasan Korupsi yang sedang giat mengejar perampok uang KTP elektronik yang ditenggarai berisi nama-nama besar lagi licin.    

Awalnya saya ingin berpikir baik soal angket-angketan ini. Maksudnya, sebagai lembaga dengan status superbody, saya ingin tahu bagaimana kehidupan di dalam organisasi KPK, bagaimana mereka bekerja dan bertanggungjawab atas prosedur dan metodenya.Tidak dalam konteks mengintervensi perkara yang sedang diperiksa atau disidangkan. Saya ingin berprasangka baik kepada Fahri Hamzah dan para politisi, termasuk yang berasal dari partai pendukung rezim. Sekali saja seumur hidup saya sebagai warga negara.

Koalisi hak angket ini akhirnya "masuk angin" karena perdebatan UU Pemilu yang baru yang membuat pecah kongsi jilid 2. Serentak, media-media nasional menulis judul besar "Hak Angket Ditinggalkan Pendukungnya". Para representator itu tentu akan beretorika macam-macam, tapi maaf, saya masih percaya dalil: pikiran dikondisikan keadaan. So, memuakan!

Dari dua dinamika politik dan tegang-tegangan ini, saya tidak bicara perkara moral politik lembaga yang sudah sejak lama dibilang Gus Dur mirip Taman Kanak-kanak itu. Percakapan moral tentang mereka atau seharusnya bagaimana mereka hanya akan membentur dinding kedap suara. 

Yang ingin saya usulkan kepada mereka dan tuan-tuan mereka, bertengkarlah dengan serius, sungguh-sungguh. Bertarunglah seperti singa terluka. Tidak usah menggunakan matematika untung-rugi atau omong kosong moral, bukankah harga diri sudah lama tak penting di politik? Tak usah bicara wakil dari kedaulatan rakyat jika hanya menyembunyikan pembelaan hidup mati Anda atas tuan-tuan Anda masing-masing. Lagi pula, sesudah selesai di dalam bilik suara, kedaulatan itu hanya menyisakan bekas tinta di jemari kelingking.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun