Tapi, yang tak mereka akui, sejujurnya penelitian seperti itu membuka kemungkinan untuk bekerjasama dengan kepentingan pemerintah atau swasta terhadap kota. Lebih parah lagi, bagiku, mereka membuat, seolah-olah, masa lalu kota hanyalah bab sosio-historis yang hanya layak dibaca kesadaran jenis SMP dan SMA.Â
Kalau sudah begini, apa bedanya perguruan tinggi dengan institusi kolonial yang melayani visi ganjil pemberadaban?
"Sudahlah, kau tak perlu berjibaku dengan sinisme seperti itu.."
Lastri bilang begitu, ia memang sahabat yang pragmatis. Selalu lebih ingin fokus pada penyelesaian yang selekas mungkin. Baginya, sinisme intelektual yang salah sasaran pada akhirnya akan menemui jalan buntu di depan mazhab yang sudah menjadi otoritas tunggal di ruang belajar. Bukan saja sia-sia. Celaka.
Aku berkompri dengan peringatan Lastri.
"Las, kita ke lokasi peneltianku yuk. Aku perlu menyampaikan terima kasih sekalian pamitan."
Dalam beberapa menit, aku dan Lastri tiba di depan gang yang menjadi pintu masuk dan keluar dari pemukiman yang telah membantuku mendapatkan gelar sarjana tingkat magister. Agak lama Lastri, yang memang baru sekali kuajak kemari berdiri dan tercengang.Â
"Aku tak pernah tahu ada perkampungan seperti ini. Ini menjaga ciri pedesaan yang kuat sekali."
Perkampungan itu menyerupai empat persegi yang dibentuk oleh deretan rumah-rumah semi permanen dengan halaman tanah, pagar bambu dan pepohonan rindang. Jalan utama yang menghubungka tiap hunian dari tanah, beberapa masih dilebati rumput yang rajin dipangkas. Di halaman rumah, masih disediakan gentong air dari tanah liat.
Sedang di tengah persegi empat itu, langgar dan sebuah gereja kecil berdiri. Keduanya seolah "pusat moral" yang segera menyeleksi pengaruh dari luar. Sementara itu, di sekeliling perkampungan, gedung-gedung tinggi superblok menjulang gagah, asing dan dingin. Dan rumah orang tua, yang "tabu dibicarakan masa lalunya", berdiri di deret paling belakang. Selayaknya pusat dari segala pusat.Â
"Selamat sore Bu, apa kabar nih?"