Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

[Resensi Film] Concussion, Kisah Perlawanan Kebenaran Sains

21 Juni 2017   16:21 Diperbarui: 7 Juli 2017   13:52 6558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dr. Bennet Omalu dan Will Smith | MarketWatch

Di Amerika era paska-Obama, berkembang situasi yang tegang dan mencemaskan. Salah satunya dipicu oleh kelompok neo-konservatif, yang mewujud pada sosok Donald Trump, dan kemunculan gerakan Alt-Right yang getol bicara dan berjuang untuk supremasi kulit putih (white supremacy).

Amerika Serikat yang memiliki sejarah kelam perbudakaan dan perang saudara seperti dibawa mundur ke belakang di tengah ambisinya yang tak pernah bubar: sebagai adidaya polisi dunia. Amerika yang getol berkampanye multikulturalisme, ternyata memelihara benih anti-multi itu di dalam rumah sendiri. Amerika yang dibangun kebesarannya dari wilayah penaklukan kaum imigran kini terbaca sedang mengisolasi diri dan anti imigran. Amerika yang ironis.

Tetapi saya jelas tidak berani turut bertutur masyarakat Amerika era Trump. Jauh dari layak, Coi.

Saya sekadar berbicara tentang film. Film yang diproduksi sistem selera Hollywood, salah satu instrumen penting dalam globalisasi nilai-nilai Amerika lewat media budaya pop. Film yang mengingatkan bagaimana salah satu ideal penting Amerika terus mendapatkan ancaman dari dalam rumah. Ideal yang membuat negeri Paman Sam itu bisa sehebat--dan sekaligus semengenaskan-- sekarang.

Ideal itu adalah kepercayaan terhadap sains alias pengetahuan ilmiah. Kepercayaan yang harus bertempur melawan industri olahraga sangat populer, nomor dua segalanya sesudah Tuhan di Amerika Serikat.

Film dimaksud berjudul Concussion, diproduksi tahun 2015. Film yang berangkat dari kisah penemuan Dr. Bennet Omalu, seorang Nigerian-Amerika, tentang penyakit otak yang menyerang para pemain National Football League (NFL) atau populer sebagai sepak bola Amerika berdasarkan buku berjudul Game Brain (2012) yang ditulis Jeanne Maria Laskas. Concussion disutradarai Peter Landesman dan dibintangi, beberapa di antaranya, Will Smith, Alec Baldwin, serta Gugu Mbatha-Raw. 

Mari disimak, Guys.

Dari Penemuan ke Perlawanan Kebenaran 
Bennet Omalu (Will Smith) adalah seorang migran asal Nigeria, beprofesi sebagai dokter dan belum memiliki status kewargaan AS ketika ia menemukan gejala degenerasi otak yang disebut Chronic Traumatic Encephalopathy (CTE). Sebagai dokter dengan spesialisasi Anatomic Pathologist, Clinical Pathologist, Forensic Pathologist, Neuropathologist dan Epidemiologist, Omalu adalah juga seorang Katolik yang taat. 

Karena itu, tipologinya adalah saintis yang religius. Mungkin karenanya juga, setiap melakukan otopsi, Omalu selalu memulai dengan mengajak bicara mayat selayaknya kepada manusia hidup. Ia menghormati benar mayat-mayat itu.

Semua kisah penemuan CTE itu dimulai kala dokter yang sehari-hari tidak menikmati televisi ini, mengotopsi jazad salah satu legenda NFL yang ditemukan mati bunuh diri dalam mobilnya. Ia menemukan gejala yang belum bernama dan disembunyikan oleh para dokter dan pengelola olahraga paling populer itu. 

Selain memastikan riset medisnya, Omalu menjalankan pengamatan empiris dengan menyimak video pertandingan NFL dan latihan-latihan beberapa klub. Ia melihat bagaimana benturan keras terjadi dan secara akumulatif mengondisikan munculnya CTE itu. Penemuan itu kemudian ditulisnya dengan tiga orang kolega. 

Penemuan ini membawa Omalu, tentu saja, berhadapan dengan petinggi NFL termasuk kolaborator pengetahuannya--paramedis--yang menentang penemuan berbahaya. Berbahaya karena sindrom concussion yang diderita pemain NFL selama ini ditutupi oleh pernyataan dan laporan resmi otoritas yang mengelola. 

Omalu akhirnya ditentang. Risetnya dipandang tidak kompeten. Dan, karena itu, hanya menyebar kebohongan. Bahkan terancam tidak memiliki pekerjaan. Terlebih, ia kala itu belum memiliki status kewarganegaraan resmi. 

Omalu tentu tidak sendiri. Selain istrinya, salah seorang dokter yang setuju dengan penemuannya turut berkolaborasi dalam aksi perlawanan. Namun Omalu tidak cukup diberi ruang untuk berbicara hasil temuannya. Perkaranya, bukan saja membahayakan otoritas pengelola liga, ia dihambat oleh status imigran dan berkulit hitam. Ada "sentimen rasisme akademik" yang bekerja seolah saja olah sains hanya benar jika dikerjakan mereka yang berkulit putih.

Omalu memang tak sampai mengalami "politik kill the messenger" yang menimpa bosnya di rumah sakit ia bekerja. Namun jelas ia terguncang. Omalu sangat mencintai Amerika karena penghargaan terhadap sains dan Amerika ibarat surga dengan penghuninya adalah manusia-manusia terbaik. Ia merasa Amerika yang ideal itu "sedang dalam krisis".

Akhir kisah Concussion, salah satu figur penting NFL melakukan bunuh diri dan mewasiatkan otaknya disumbangkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Temuan Omalu terbukti valid dan berujung pada investigasi politik. Amerika Ideal yang dibayangkan Omalu sebagai rumah bagi penghargaan sains masih tegak. Omalu, di tahun 2015, menerima status kewarganegaraan.

Omalu, seorang dokter, imigran, kulit hitam, menunjukan cara mencintai Amerika dengan perlawanan lewat sains.

Di kepala saya yang gondrongnya masih tanggung, film ini menunjukan bagaimana "kebenaran sains" bertempur melawan "kebenaran industrial dan "kebenaran orang banyak". Film yang bukan saja menegaskan apa yang benar tak selalu populer dan yang populer tak mesti benar namun juga mengingatkan bahwa apa yang tampak populer dan benar selalu memiliki sistem kuasa yang mendukung dan merawatnya.

Penemuan CTE Omalu sempat diragukan bukan karena penemuan itu. Namun karena interes lain, seperti kuasa politik, ekonomi dan popularisme yang menjaga tegaknya superioritas industri olahraga. Superioritas yang di dalamnya sedang menyembunyikan bahaya dari akibat benturan keras namun dirayakan sebagai olahraga keras dan mengaduk adrenalin penggemar; sejenis keganjilan yang dirayakan.

Kisah seperti ini tentu bukan sesuatu yang baru atau khas sejarah Amerika. Sains yang menjadi saintisme pun bukan ihwal yang lepas dari sejarah krisis. Krisis yang bekerja sampai level peradaban, dimana kala positivisme dalam sains menjadi ukuran dari segala hal di kesadaran manusia modern akan kebenaran dan kemajuan.

Ada banyak riwayat bagaimana ilmu pengetahuan mendorong perubahan politik atau sebaliknya, direkayasa untuk membenarkan keputusan politik yang salah. Mungkin karena itu, kebenaran ilmiah tidak pernah bisa berdiri untuk dirinya sendiri. Selalu ada lingkungan "non saintifik" yang turut memengaruhinya atau "menggunakan legitimasinya".

Rasanya keyakinan seperti milik Omalu, selalu diuji oleh "kebenaran politik" yang menghendaki supremasi rasial ala politik Amerika kekinian. Atau jenis supremasi lain yang merasa sedang menggenggam penuh kebenaran dan mandat sejarah manusia lantas menggelorakan populisme. Supremasi yang menolak pencaharian kebenaran dengan metode lain di luar klaim dan prosedurnya, terlebih bila berbeda.

Tampaknya pertarungan kebenaran serupa ini harus selalu ada.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun