Perubahan pendekatan Allegri yang mendorong Bonucci, dkk bermain agresif bukan saja terkesan panik, namun secara pasti menuai petaka. Skor akhir 4:1 itu sakiiit, Om. Terlihat jelas, mentalitas The Old Lady kalah kelas dan ujungnya adalah antiklimaks. Sekali lagi, dari dua final yang berdekatan, superioritas domestik Juventus tidak berbicara banyak di laga pamungkas Liga Champions.
Mungkin karena itulah, dengan melihat kondisi yang lebih besar, persoalan mendasarnya adalah kualitas Serie A itu sendiri. Dominasi Nyonya Tua dalam enam musim beruntun rasanya sudah menjemukan. Sudah di level yang harus dihentikan. Dominasi yang membuat Andrea Pirlo berharap semoga Serie A ke depan bisa lebih kompetitif lagi, sebagaimana dimuat Football Italia. Serie A yang lebih kompetitif adalah liga di mana nama-nama besar tersebar di klub-klub besar dan terlibat perebutan scudetto di musim yang sama.Â
Misalnya era ketika Ronaldo bersama Inter, Delpiero dan Inzaghi tengah bersinar dengan Juventus. Batistuta dan Rui Costa di Fiorentina, Totti sedang on fire di Roma. Saat itu juga, Lilian Thuram, Nesta, Maldini, Cannavaro, Ferara masih liat dan taktis menjaga barisan belakang. Berbeda dengan era kekinian, dalam takaran yang relatif, pemain level world class lebih memilih berkiprah di liga Inggris atau ke La Liga, Spanyol.Â
Saya menyebut relatif karena liga Inggris yang banjir uang dan super kompetitif justru terbalik prestasinya di level Eropa, ia semacam anomali. Dalam beberapa tahun terakhir, tontonan akhir pekan kita dijejali siaran langsung liga ini. Banyak bintang memilih bermain di sana. Namun, wakil mereka masih kesulitan mencapai final. Senasib dengan tim nasionalnya. Â
Sementara di La Liga--anomali yang lain--yang masih belum bergeser dari tiga kasta: kasta pertama, Real Madrid dan Barcelona, kasta kedua, deretan tim yang berebut zona Champions atau Liga Europa dan kasta ketiga, tim yang berebut lolos dari nasib degradasi, selalu ada wakil yang berhasil mencapai partai puncak dan berpeluang juara. Bila bukan dua musuh abadi itu, maka ada Atletico Madrid. Setidaknya dalam beberapa tahun terakhir.
Kalau sudah tiba pada "anomali" seperti ini dan ketiadaan jawaban yang tepat, maka sebaiknya dipahami saja sebagai ihwal yang "supra-industrial" sepak bola yang tidak selalu bisa dinalar secara pasti dan terukur.Â
Kembali ke konteks harapan Pirlo untuk Serie A, kebutuhan untuk lebih kompetitif bukan semata-mata ditujukan untuk menghentikan dominasi Juventus. Lebih dari itu adalah demi menegakkan lagi kewibawaan dari tradisi sepak bola Italia di liga Champions sebagaimana dulu pernah ditampilkan oleh AC. Milan. Karena itu, bukan sekadar menarik uang masuk dalam jumlah besar, misalnya dari Tiongkok atau Uni Emirat Arab, namun jauh lebih penting, bagaimana sistem kompetisi membawa identitas Italia di pertarungan level klub kembali menakutkan.
Semoga harapan seperti di atas nyambung dengan suasana batin orang Italia, khususnya pengurus sepakbola dan pemilik klub. Dan, sebagai penutup untuk kekalahan menyakitkan pagi ini, cukuplah kata-kata Allegri ini sebagai penguncinya: We begin next season determined to have another great Champions League campaign, win the Scudetto and the Coppa Italia. We need to gather our thoughts, fire up our energy and fight back, because we can learn from this and improve.
It's Time to be Proud. Fino Alla Fine. Forza Juventus. Sampai jumpa musim depan!
***Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H