Lantas, pertanyaannya, bagaimana praktik Ratu Adil yang ditemukan oleh riset Carey?
Diponegoro: Ratu Adil sebagai Praktik
Dalam catatan Carey, Pangeran Diponegoro adalah sosok yang sejak awal memahami kehadiran dirinya mewakili citra diri Ratu Adil.
Pangeran yang lahir 1785, sudah sejak awal percaya pada ramalan Sultang Agung yang mengatakan tanah Jawa akan dijajah kolonial selama 300 tahun dan akan ada keturunannya yang melawan namun kalah. Diponegoro juga percaya pada ramalan kakeknya, Mangkubumi I, jika kehadiran dirinya hanyalah sementara untuk kemudian disejajarkan dengan para leluhurnya.
Ramalan yang dikenal sebagai Ramalan Parangkusumo.
Akan tetapi ramalan-ramalan awal ini tidak serta merta membawanya kedalam sikap percaya membabi buta. Ada rangkaian pergulatan diri yang ditempuh untuk mengorbarkan perang besar tersebut. Seawam bacaan saya, paling tidak ada dua proses besar.
Pertama, Diponegoro muda harus terlebih dahulu diperhadapkan dengan kehidupan keraton Yogyakarta yang terus merosot wibawanya, yang lemah dihadapakan tuan kolonial Inggris seperti Raffles,yang rakyatnya hidup dalam penderitaan dan kehancuran harga diri. Diponegoro juga harus menyaksikan penghancuran moral yang dihasilkan dari kolaborasi aparatur kolonial dan ningrat keraton yang hedon.
Kebijakan pemerintah kolonial bukan saja menghina wibawa keraton, namun turut membunuh rakyat kecil lewat kerja paksa dan mekanisme pajak.
Misalnya, kebijakan sewa tanah bagi perluasan perkebunan yang didorong oleh motif menarik keuntungan dari perdagangan lada, nila, dan sejenisnya, memaksa keraton mengorbankan hak-hak serta membunuh perlahan rakyatnya. Tak cukup itu, secara internal, kuasa kolonial turut menghancurkan tata upacara keraton yang demikian sakralnya dengan reformasi hukum gaya Eropa yang sejatinya adalah siasat mengendalikan kuasa keraton.
Sebagai penganut Islam, kemerosotan ini dimaknai sebagai contoh dari kehadiran Zaman Jahiliyah juga Zaman Edan. Situasi demikian bukan saja menghancurkan martabat keraton tetapi juga membinasakan ajaran dan praktik Islam.
Pangeran Diponegoro sendiri adalah saksi hidup dimana ia harus dipinggirkan dari lingkaran dalam kekuasaan Sultan Yogyakarta karena sikapnya yang kritis. Pilihannya hidup di Tegalrejo adalah “ruang yang mendidiknya” terus bersikap kritis terhadap perilaku dan kebijakan keraton terutama sejak ayahnya, Sultan Hamengkubuwono II wafat. Lama kelamaan seiring situasi kemerosotan yang semakin parah, sikap keras dan kritisnya bertransformasi menjadi pengkondisian pemberontakan terhadap Belanda dan Keraton.
Pangeran Diponegoro sepenuhnya sadar dan meyakini ramalan bahwa dalam dirinyalah ramalan Sultan Agung itu akan mengambil bentuk, mewujudkan historisitasnya. Ia juga percaya bahwa akan kalah tetapi itu hanyalah sarana demi menggapai kemulian: disejajarkan dengan para leluhurnya. Singkat cerita, Dipenogoro percaya bahwa dirinyalah pengejawantahan sang Ratu Adil akan bekerja.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!