Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Kunti dan Rindang

24 Maret 2017   23:10 Diperbarui: 24 Maret 2017   23:21 840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Karyawati itu dulunya adalah anak mantu Kosim. Sayang, pernikahannya tak berumur panjang. Suaminya, anak tertua Kosim, meninggal dalam kecelakaan. Saat itu, istrinya sedang hamil tua. Anak mereka, tentulah cucu si Kosim, kini dipelihara neneknya di kampung. Karyawati itu jatuh hati pada si Kosim yang memulihkannya dari duka, sama halnya Kosim. Tapi kau tahu, apa kata dunia terhadap hubungan cinta seperti itu?”

“Gila kamu, Kunti. Dari mana kau tahu semua cerita itu?”

“Setiap aku kesini, aku bukan saja bercerita hal-hal nun jauh disana. Aku mendengar cerita, jeritan hati manusia, yang hidup mengais rejeki di sekitar perempatan ini.” Kunti tersenyum. “Kau sudah mengerti mengapa aku mengatakan, bila saja kau lebih sensitif, Rin?”

Rindang tak berani membantah, Kunti benar sepenuhnya.

“Kau memiliki tubuh yang tinggi, kau bisa melihat lebih jauh, sudut-sudut tersembunyi dari perempatan ini. Kau memiliki tubuh yang besar, yang karena itu, banyak orang kecil datang dan mencari teduh atau menceritakan keluh kesah hidupnya di bawah ketiakmu. Mengapa kau tak pernah menyimak? Tidakkah kau tidak pernah bersyukur dengan anugerahmu?”

Skak mati! Rinda dibikin mati kudu. Lahir batin mati kutu.

“Aku? Kau tahu resiko apa yang kutempuh ketika pergi ke utara atau selatan? Aku menempuh kemungkinan diketapel anak-anak iseng yang baru pulang sekolah. Akan tetapi, aku memilih menempuhnya demi menggunakan anugrah yang diberikan. Aku pergi ke tempat yang lain agar menjadi saksi hal yang kini penting manakala manusia hanya sibuk dengan impiannya yang saling memangsa.”

Rindang menyadari betapa ia terlalu sibuk dengan kehidupan makhluk lain hingga abai dengan kemungkinan menjadi lebih bermakna sebagai dirinya sendiri.

“Terimakasih Kunti.” Hanya itu yang bisa diucapnya.

Kunti memeluk tubuh Rindang, di telinganya yang hijau, ia berbisik, “Manfaatkan waktumu, Sahabatku. Aku memiliki firasat yang tak enak. Tapi jangan cemas, kita masih diberi waktu.”

Rindang ingin bertanya lebih dalam. Kunti sudah pergi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun