Iasha.
Sesungguhnya, sejak lama sudah, dirinya tahu, hidup bukan keputusan-keputusan yang diambil secara merdeka. Bahkan terhadap hidupnya sendiri, ia selalu merasa lebih ringkih dari air di daun talas, terombang-ambing, berpindah lintasan tanpa bisa memilih. Ia pernah berpikir, atau mencoba membayangkan, apakah tidak lebih baik jika segera saja menjumpai tanah? Kembali pada hakikatnya yang hening?
Tapi tidak boleh. Membayangkan seperti adalah fatalisme yang celaka. Sikap yang merayakan kebinasaan.
Ia memilih bertahan melewati semua: kekasih lembut hati yang ketika naik kelas menjadi suami, gemar main tampar dan mulai memburu kesenangan tubuh yang lain. Suami yang merasa selalu sebagai tuan dalam rezim yang dikendalikan ibu mertua. Kekasih yang malang, suami yang mengenaskan, sebenarnya.
Mengapa ia bertahan? Mengapa Iasha merelakan diri terus menerus menjadi pion dari skenario rezim mertuanya?
Sebab cinta? Demi anak-anak yang kini lebih hina dari perebutan warisan?
“Tidak. Aku bertahan karena kehidupan begitu berharga. Kematian hanya boleh mengambil ketika aku telah tiba di batas ‘semuanya sudah kuusahakan, sebaik-baiknya’. Memperjuangkan hidup yang walau hanya sekali berarti sesudah itu mati,” katanya kepadaku.
Wow! Tapi aku tahu, di musim-musim sulitnya, Iasha tidak sendiri.
Aku tahu itu dari Atmo, orang kecil yang sering terlihat tak penting. Orang kecil yang merekam banyak perisitiwa, hal-hal yang tidak diceritakan, kegilaan skandal, konspirasi bengis atau tangis kecewa meraung-raung yang disembunyikan penampilan lembut dan tenang manusia-manusia di puncak kemewahan duniawi. Atmo, supir Iasha.
Seseorang datang untuk mengisi hari-harinya yang malang. Seseorang yang melihat lara hati di wajah yang manis harus segera diobati. Ia datang demi menghapus pelan-pelan sedih yang seperti tak berujung. Ia kolaborator yang membuat Iasha batal sendiri berhadapan dengan kejamnya rezim mertua.
Paling tidak penilaian seperti itu yang sering diceritakan. Aku sangsi, sepenuhnya.