Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Master Mind

19 Maret 2017   10:31 Diperbarui: 19 Maret 2017   10:47 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: GV Prashanth - WordPress.com

Iasha.

Sesungguhnya, sejak lama sudah, dirinya tahu, hidup bukan keputusan-keputusan yang diambil secara merdeka. Bahkan terhadap hidupnya sendiri, ia selalu merasa lebih ringkih dari air di daun talas, terombang-ambing, berpindah lintasan tanpa bisa memilih. Ia pernah berpikir, atau mencoba membayangkan, apakah tidak lebih baik jika segera saja menjumpai tanah? Kembali pada hakikatnya yang hening?

Tapi tidak boleh. Membayangkan seperti adalah fatalisme yang celaka. Sikap yang merayakan kebinasaan.

Ia memilih bertahan melewati semua: kekasih lembut hati yang ketika naik kelas menjadi suami, gemar main tampar dan mulai memburu kesenangan tubuh yang lain. Suami yang merasa selalu sebagai tuan dalam rezim yang dikendalikan ibu mertua. Kekasih yang malang, suami yang mengenaskan, sebenarnya.

Mengapa ia bertahan? Mengapa Iasha merelakan diri terus menerus menjadi pion dari skenario rezim mertuanya?

Sebab cinta? Demi anak-anak yang kini lebih hina dari perebutan warisan?

“Tidak. Aku bertahan karena kehidupan begitu berharga. Kematian hanya boleh mengambil ketika aku telah tiba di batas ‘semuanya sudah kuusahakan, sebaik-baiknya’. Memperjuangkan hidup yang walau hanya sekali berarti sesudah itu mati,” katanya kepadaku.

Wow! Tapi aku tahu, di musim-musim sulitnya, Iasha tidak sendiri.

Aku tahu itu dari Atmo, orang kecil yang sering terlihat tak penting. Orang kecil yang merekam banyak perisitiwa, hal-hal yang tidak diceritakan, kegilaan skandal, konspirasi bengis atau tangis kecewa meraung-raung yang disembunyikan penampilan lembut dan tenang manusia-manusia di puncak kemewahan duniawi. Atmo, supir Iasha.

Seseorang datang untuk mengisi hari-harinya yang malang. Seseorang yang melihat lara hati di wajah yang manis harus segera diobati. Ia datang demi menghapus pelan-pelan sedih yang seperti tak berujung. Ia kolaborator yang membuat Iasha batal sendiri berhadapan dengan kejamnya rezim mertua.

Paling tidak penilaian seperti itu yang sering diceritakan. Aku sangsi, sepenuhnya.

Lelaki yang melihat lara hati di tubuh yang manis tidak benar-benar membawa cinta. Kalau benar, mengapa ia tidak datang ke pinggir kampung-kampung kumuh di bawah jalan layang yang berhadapan dengan pusat belanja? Ada banyak perempuan dengan lara hati yang tidak sekali. Kalau ia memang berjiwa penyelamat, kesana saja.

Daniel, namanya, tentu punya perhitungan. Atau, menurutku, cinta tanpa perhitungan adalah ngeri prahara yang belum tiba pada kondisi meledak saja. Daniel pasti tahu, selain wajah manis yang bisa membunuh pesona yang lain, otak encer yang lihai membahas dinamika ekonomi hingga rahasia purba intimitas manusia, kelembutan dan ketenangan Iasha adalah senyawa psikis yang dibutuhkan lelaki yang sedang menempuh ambisi mencapai puncak karir.

Cinta tidak membuat jiwa-jiwa bersiap untuk jatuh. Justru membantu manusia terus naik, naik, naik. Mungkin akan mati di puncak yang sensorik: memilih jenazah yang pantas masuk di kerandanya.

Dan aku kira, Iasha menerima dengan gairah yang baru. Dibanding suaminya yang tak pernah mampu melihat cahaya di suram dirinya sendiri, Daniel bahkan bisa melihat apa yang dibutuhkan dirinya dan Iasha. Sayang sekali, aku tak berkesempatan berbicara lebih banyak dengan Daniel.

Padahal, diam-diam aku kagum pada jiwa yang seperti itu.

“Pak Daniel berangkat dari bawah. Ia menantang kemalangan hidup dari pengasuhan panti asuhan dan beasiswa lembaga amal. Sebatang kara dengan ambisi keras hati untuk mengatasi takdirnya.”

Atmo bilang padaku. Hahaha, entah siapa yang membisikan kata-kata canggih begitu.

“Sudah kau temui dia?”

“Sudah Bu. Besok dia kesini.”

Aku memang menugaskan Atmo untuk menjumpai seseorang. Ia yang akan menyelesaikan semua ini.

***

“Nyonya, sudah beres. Bersih dan cepat.”

“Segera pergi dari kota ini. Jangan lupa bereskan Atmo.”

“Siap Nyonya.”

Selesai. Aku puas. Aku masihlah tegak sebagai kuasa yang tidak boleh ditentang keputusan-keputusannya. Aku tak pernah percaya cinta kepada kehidupan. Bahkan terhadap darah dagingmu, jiwa muda yang jangan pernah kau berikan kebebasan untuk mengambil resikonya sendiri!

Selamat jalan Iasha, Daniel. Kalian seharusnya memikirkan bahayanya lepas dari kemalangan. Sesungguhnya kemalangan lain sedang menanti.

Dooor!!

Kita akan segera bertemu. Kita akan bercakap-cakap lebih lepas, lepas dari dunia yang terus menguji kita dengan rasa sakit dan kecemasan.

Tak usah jeri Iasha dan Daniel, kalian akan datang tanpa kepala, aku dengan kepala yang pecah. Di matanya yang terbelalak, Atmo akan merekam semuanya.

***

*) Ditulis sesudah menikmati film lawas dalam negeri, Mekar Diguncang Prahara. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun