Lelaki yang melihat lara hati di tubuh yang manis tidak benar-benar membawa cinta. Kalau benar, mengapa ia tidak datang ke pinggir kampung-kampung kumuh di bawah jalan layang yang berhadapan dengan pusat belanja? Ada banyak perempuan dengan lara hati yang tidak sekali. Kalau ia memang berjiwa penyelamat, kesana saja.
Daniel, namanya, tentu punya perhitungan. Atau, menurutku, cinta tanpa perhitungan adalah ngeri prahara yang belum tiba pada kondisi meledak saja. Daniel pasti tahu, selain wajah manis yang bisa membunuh pesona yang lain, otak encer yang lihai membahas dinamika ekonomi hingga rahasia purba intimitas manusia, kelembutan dan ketenangan Iasha adalah senyawa psikis yang dibutuhkan lelaki yang sedang menempuh ambisi mencapai puncak karir.
Cinta tidak membuat jiwa-jiwa bersiap untuk jatuh. Justru membantu manusia terus naik, naik, naik. Mungkin akan mati di puncak yang sensorik: memilih jenazah yang pantas masuk di kerandanya.
Dan aku kira, Iasha menerima dengan gairah yang baru. Dibanding suaminya yang tak pernah mampu melihat cahaya di suram dirinya sendiri, Daniel bahkan bisa melihat apa yang dibutuhkan dirinya dan Iasha. Sayang sekali, aku tak berkesempatan berbicara lebih banyak dengan Daniel.
Padahal, diam-diam aku kagum pada jiwa yang seperti itu.
“Pak Daniel berangkat dari bawah. Ia menantang kemalangan hidup dari pengasuhan panti asuhan dan beasiswa lembaga amal. Sebatang kara dengan ambisi keras hati untuk mengatasi takdirnya.”
Atmo bilang padaku. Hahaha, entah siapa yang membisikan kata-kata canggih begitu.
“Sudah kau temui dia?”
“Sudah Bu. Besok dia kesini.”
Aku memang menugaskan Atmo untuk menjumpai seseorang. Ia yang akan menyelesaikan semua ini.
***