Imajinasi akan jeans sebagai lambang pekerja lagi macho menjumpai saya dalam masa yang sedang remaja.
Masa dimana televisi belum menjadi perpanjangan tangan dari imajinasi lewat iklan-iklan. Saat itu baru ada majalan remaja, Hai untuk maskulinitas dan Aneka Yess! bagi feminitas. Sesudah tahun-tahun bersama Bobo, Asterix, Tapak Sakti, Tiger Wong, Kungfu Boy serta Kenji, saya membaca kedua ikon budaya pop remaja itu dengan cara meminjam. Ini berlangsung di Jayapura, Papua.
Jayapura kala itu, tahun-tahun menjelang runtuhnya rezim Orde Baru, belum memiliki pusat belanja sekelas mall, yang disebut-sebut sebagai katedralnya orang modern. Hanya ada supermarket dan toko pakaian dengan merek yang tidak dikenal majalah. Merek pinggiran, non-major label, murah(an).
Saya baru punya jeans sesudah Soeharto jatuh. Dan itu di Manado, sebuah kota pesisir di tepian laut Pasifik yang sedang berlomba-lomba menjadi salah satu sirkuit penting konsumsi di jazirah Sulawesi.
Ada dua cara memperoleh celana yang merupakan temuan kolaboratif Jacob Davis dan Levi Strauss di tahun 1873 ini. Pertama, sebagai warisan, yang saya terima dari kakak sepupu, seorang profesional muda di perusahaan farmasi dan kedua, membeli jeans bekas milik seorang teman seangkatan di fakultas.
Yang dari warisan kakak sepupu tidak terlalu saya cintai walau tetap memakainya ke ruang kuliah atau sekedar bagian dari saksi sunyi kala nongkrong di ruang terbuka menunggu mahasiswi fakultas Ekonomi melintas sekali pun tak ada satu yang menganggapku ada.
Maksudnya, saya tidak punya celana yang lain atau benda pantas sebagai perlengkapan tubuh untuk gaul dengan selera saat itu. Pasalnya, ada beberapa potong pakai saya adalah warisan dari Opa dan adik ibu, bermerek Walrus—merek yang juga top di majalah remaja selain Crocodile. Ayah sendiri tidak menyukai jeans, mencucinya repot. Dan guru produk 60-an tidak berdiri di depan kelas dengan celana jenis ini. Mereka generasi cutbray. Singkat berita, tidak ada gen pemuja jeans dalam keluarga kami.
Sedangkan yang saya beli dari seorang teman itu adalah celana panjang merek Lee Cooper, berwarna biru muda pudar. Lee Cooper adalah merek ciptaan oleh Morris Cooper, sosok yang melahitkan perusahaan produsen pakaian kerja, The Morris Cooper Factory tahun 1908 di London.
Jeans ini sesungguhnya sudah setengah belel, menunggu sobek di bagian lutut dan paha. Kondisi belel yang membuat jatuh cinta saya begitu kuat. Yang sudah setengah begini akan mendukung kehendak terlihat urakan dan semua suka-suka saya! Selain itu, bahannya yang lembut dan tidak mempercepat keringat di bagian-bagian rahasia merupakan alasan pelengkap yang penting dipegang mengingat saya hidup di sebuah kota tropis dengan garis pantai yang indah.
Saya menubuhi Lee Cooper hampir setiap hari, setiap pergi ke perkuliahan, keliling ke tempat buku-buku tua atau menghadiri undangan organisasi mahasiswa. Aksi Massa? Pernah dong. Bisa sebulan atau berbulan-bulan celana ini menempel di pantat sedangkan baju atau kaos sudah berganti modelnya. Maka itu abadi terlihat dekil, kucel dan menjijikan tapi justru karena inilah, menjadi kelihatan tidak ambil pusing. Persetan dengan mahasiswi Fekon. Ini yang bikin celana jeans warisan seharga seratus lima puluh ribu ini bermakna!
Jadi, kalau si Ringgo Agus Rahman, artis yang bisa berbulan-bulan hidup dengan jeans tanpa dicuci, itu bukan perkara yang penting dipublikasi. Penikmat celana jeans yang ideologis pasti mengadopsi jalan Urakan Anti Cuci. Maka biasa aja keleees, Nggo.
Hingga akhirnya perjalanan waktu membuat Lee Cooper warisan ini berakhir di tumpukan pakaian yang tidak layak lagi. Perpisahan kita pun berlangsung tanpa guncangan psikis yang serius. Tentu saja! Musababnya, saat itu, saya sudah memiliki pengganti: TIRA, merek jeans yang konon lahir di tahun 1974. Kali ini membeli langsung di gerainya dengan harga yang sedikit di atas.
Tira adalah merek jeans yang sudah lama saya baca di majalah abegeh dulu. Seingat saya, modelnya adalah Jeremy Thomas. Bahannya pun lembut dan dingin, selain juga, tentu saja, tetap mendukung ideologi “Urakan Anti Cuci”. Senasib sesejarah dengan pendahulunya, Tira adalah teman perjalanan kemana-mana, teman menikmati hari dengan mandi yang sesuai kebutuhan, dan teman menikmati duduk berjam-jam di lantai dingin Gramedia sebelum ditegur Satpam.
Bukan teman ke bioskop atau nongkrong di depan gerai McDonald dan Pizza Hut. Ya iya, duit kiriman ortu hanya cukup untuk beli tahu.
Tira ini akhirnya menemui nasib yang sama, fana. Berbeda dengan Lee Cooper yang lebih senior ratusan tahun dalam sejarah penemuan, Tira mengikuti saya sampai Jakarta dan berakhir sejarahnya di kontrakan yang saya lupa, entah di Tebet Barat atau Bukit Duri.
"Counter Culture"
Dua celana jeans ini adalah saksi dari banyak peristiwa dimana kesadaran dibentuk oleh perguruan tinggi di tahun-tahun awal bubarnya rezim Orde Baru. Tahun-tahun yang juga menandai kemunculan pusat-pusat belanja baru—karena itu juga import gaya hidup global—ke Manado. Import gaya hidup yang ditandai oleh gerai-gerai makanan cepat saji, perawatan kecantikan, rumah-rumah karaoke, dan kafe-kafe.
Saya berada dalam pusaran zaman “gila belanja” dengan jeans sebagai salah satu penandanya. Namun saya menggunakan Lee Cooper dan Tira sebagai ekspresi dari tubuh yang udik-nomadis: gemar berpindah, dekil, urakan, pinggiran, dan bukan peziarah serius di “katedral modern”. Dengan keduanya, saya pernah mencoba ajukan penolakan individual terhadap kuasa ideologi belanja tanpa batas. Atau terhadap "politik tubuh" yang serba rapi, kelimis, harum atau metroseksual minded.
Ini bukan pemberontakan kelas pekerja yang serius, karena saat-saat itu, saya seperti orang asing di orbit urban yang bergerak cepat dan menyobek makna-makna lama; menciptakan “homeless mind” bagi kasta alas kaki. Tidak juga seserius mimpi-mimpi revolusioner yang hendak membalik tatanan, dengan menjungkirkan konsumerisme. Tubuh dan jeans pada saya hanyalah sejenis kemuakan dari pinggiran, dari arsip-arsip memori yang diruwat oleh kegairahan akan udikisme: lekas canggung dan sering konyol. Gampang nyasar dan benci dengan bising sibuk kendaraan.
Udikisme yang pernah membuat saya hampir melompat dari escalator di pertokoan Matahari yang sekarang digunakan sebagai rumah sakit Siloam di Manado. Atau, pernah membuat saya mendadak mual sesudah keluar dari lift di gedung PBNU, Kramat Raya, Jakarta. Udikisme yang tidak pernah bisa nyaman apalagi langgeng hidup di kota-kota utama. (Halaah, preeet!)
Pada akhirnya, ideologi “Urakan Anti Cuci” pun menyesuaikan dirinya dengan perpindahan ruang dan perluasan kesadaran. Umur? Hanya angka yang dijumlah-jumlah demi merawat cemas masa tua. So, don’t worry, Mbah.
Saya sekarang di tepi sungai Katingan, Kalimantan Tengah dengan kesadaran yang terlibat pada sesuatu yang menuntut lebih fokus dan tertib ketimbang dunia mahasiswa. Tapi, saya masih punya satu celana jeans yang ikut kesini, Lee Cooper yang mungkin sudah tergolong cucu dari yang pertama dimiliki. Satu-satunya.
Terimakasih Lee Cooper dan Tira, kita pernah jorok bersama!
***
*) Sedikit direvisi dan dimuat ulang demi mematuhi ketentuan lomba. Demikian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H