Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

[Mudasiana] Lee Cooper-Tira, Saya dan "Counter Culture"

3 Maret 2017   00:40 Diperbarui: 3 Maret 2017   22:00 1367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hingga akhirnya perjalanan waktu membuat Lee Cooper warisan ini berakhir di tumpukan pakaian yang tidak layak lagi. Perpisahan kita pun berlangsung tanpa guncangan psikis yang serius. Tentu saja! Musababnya, saat itu, saya sudah memiliki pengganti: TIRA, merek jeans yang konon lahir di tahun 1974. Kali ini membeli langsung di gerainya dengan harga yang sedikit di atas.  

Tira adalah merek jeans yang sudah lama saya baca di majalah abegeh dulu. Seingat saya, modelnya adalah Jeremy Thomas. Bahannya pun lembut dan dingin, selain juga, tentu saja, tetap mendukung ideologi “Urakan Anti Cuci”. Senasib sesejarah dengan pendahulunya, Tira adalah teman perjalanan kemana-mana, teman menikmati hari dengan mandi yang sesuai kebutuhan, dan teman menikmati duduk berjam-jam di lantai dingin Gramedia sebelum ditegur Satpam.

Bukan teman ke bioskop atau nongkrong di depan gerai McDonald dan Pizza Hut. Ya iya, duit kiriman ortu hanya cukup untuk beli tahu.

Tira ini akhirnya menemui nasib yang sama, fana. Berbeda dengan Lee Cooper yang lebih senior ratusan tahun dalam sejarah penemuan, Tira mengikuti saya sampai Jakarta dan berakhir sejarahnya di kontrakan yang saya lupa, entah di Tebet Barat atau Bukit Duri.

"Counter Culture"

Dua celana jeans ini adalah saksi dari banyak peristiwa dimana kesadaran dibentuk oleh perguruan tinggi di tahun-tahun awal bubarnya rezim Orde Baru. Tahun-tahun yang juga menandai kemunculan pusat-pusat belanja baru—karena itu juga import gaya hidup global—ke Manado. Import gaya hidup yang ditandai oleh gerai-gerai makanan cepat saji, perawatan kecantikan, rumah-rumah karaoke, dan kafe-kafe.

Saya berada dalam pusaran zaman “gila belanja” dengan jeans sebagai salah satu penandanya. Namun saya menggunakan Lee Cooper dan Tira sebagai ekspresi dari tubuh yang udik-nomadis: gemar berpindah, dekil, urakan, pinggiran, dan bukan peziarah serius di “katedral modern”. Dengan keduanya, saya pernah mencoba ajukan penolakan individual terhadap kuasa ideologi belanja tanpa batas. Atau terhadap "politik tubuh" yang serba rapi, kelimis, harum atau metroseksual minded.

Ini bukan pemberontakan kelas pekerja yang serius, karena saat-saat itu, saya seperti orang asing di orbit urban yang bergerak cepat dan menyobek makna-makna lama; menciptakan “homeless mind” bagi kasta alas kaki. Tidak juga seserius mimpi-mimpi revolusioner yang hendak membalik tatanan, dengan menjungkirkan konsumerisme. Tubuh dan jeans pada saya hanyalah sejenis kemuakan dari pinggiran, dari arsip-arsip memori yang diruwat oleh kegairahan akan udikisme: lekas canggung dan sering konyol. Gampang nyasar dan benci dengan bising sibuk kendaraan.

Udikisme yang pernah membuat saya hampir melompat dari escalator di pertokoan Matahari yang sekarang digunakan sebagai rumah sakit Siloam di Manado. Atau, pernah membuat saya mendadak mual sesudah keluar dari lift di gedung PBNU, Kramat Raya, Jakarta. Udikisme yang tidak pernah bisa nyaman apalagi langgeng hidup di kota-kota utama. (Halaah, preeet!)

Pada akhirnya, ideologi “Urakan Anti Cuci” pun menyesuaikan dirinya dengan perpindahan ruang dan perluasan kesadaran. Umur? Hanya angka yang dijumlah-jumlah demi merawat cemas masa tua. So, don’t worry, Mbah.  

Saya sekarang di tepi sungai Katingan, Kalimantan Tengah dengan kesadaran yang terlibat pada sesuatu yang menuntut lebih fokus dan tertib ketimbang dunia mahasiswa. Tapi, saya masih punya satu celana jeans yang ikut kesini, Lee Cooper yang mungkin sudah tergolong cucu dari yang pertama dimiliki. Satu-satunya.

 Terimakasih Lee Cooper dan Tira, kita pernah jorok bersama!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun