Mengutip Perdana Nugroho, paling tidak, ada empat alasan kegagalan Ranieri dan Leicester di musim ini. Yakni, geliat tim-tim elit, kekutsertaan di liga Champions, para pemain baru yang belum teruji dan Ranieri yang kehilangan tangan kanannya. Â Tiga sebab terakhir dapat dipandang sebagai persoalan dalam rumah yang tidak cukup mulus diselesaikan Ranieri di awal musim hingga tiba keputusan ia dipecat. Tidak terlalu detil di mata saya bila kita membicarakan taktik yang diterapkan untuk menjaga sistem bermain yang memungkinkan Leicester memaksimalkan sumberdaya skuad agar terus berada di level pertarungan tim-tim elit yang pada musim sebelumnya terpuruk atau belum menemukan bentuk terbaiknya.Â
Oleh karena itu, dari empat alasan di atas, Ranieri terlihat seperti orang tua yang memaksa bertarung di zaman yang bergerak cepat dan menyingkirkan siapa pun yang tidak sungguh-sungguh siap. Saya kira lelaki tua ini bukan kehilangan sentuhan sebab Leicester masih bisa lolos dari seleksi grup di liga Champions yang merupakan medan tarung paling elitis dari klub-klub kaya dunia di Eropa. Ranieri adalah seorang tua yang tidak cukup dukungan namun masih berusaha menggapai target realistisnya: tidak terdegradasi.
Pemecatan itu jelas sesuatu yang kejam bila ditakar dengan penghormatan atas prestasi yang ditulisnya. Atau dengan menggunakan nurani kepada seorang tua yang berusaha membuktikan dirinya masih layak. Prestasi yang belum tentu dalam setengah abad di muka bisa ditulis ulang oleh Leicester. Masalahnya, apa yang tidak kejam dari kompetisi yang digelorakan oleh sistem industrial dalam sepakbola? Artinya, rasa sedih saya terlihat tidak relevan. Suara sedih saya sebagai bagian dari masyarakat fans selalu tidak relevan, kami adalah sejujurnya Silent Majority sepakbola dalam situasi demikian.Â
Perasaan sama yang bersemburat mengaduk-aduk ketika Alex "The King" Delpiero harus pergi dari Juventus Stadium dan menemui senjakala karirnya di liga kasta empat di Australia. Kerasnya kompetisi membuat klub harus selalu berorientasi ke masa depan, tidak melihat apalagi disandera ke masa lalu. Selain juga, manusia sebagai bagian dari yang fana, selalu ada masa senjakala yang menghampiri secara pasti, perjalanan waktu hanya membuatnya berada dalam misteri. Semegah apa pun masa lalu, kita tidak berada di hari ini untuk menghidupinya.
The Underdog's dan Narasi Sejarah Tandingan
Kondisi yang dialami Ranieri--seorang tua di zaman serba kompetisi--juga membuat saya mengenang lagi judul besar Leicester adalah Kita yang ditulis Pangeran Siahaan dengan bagus sekali. Leicester adalah Kita berkisah tentang kaum Underdog's yang selalu diposisikan tidak penting, pinggiran, bukan siapa-siapa, sekedar penggembira, jelata yang dipandang bodoh dan tidak penting didengar. Namun Underdog's dalam perwujudan "The Foxes" membalik cara pandang dan keyakinan seperti ini. Ranieri adalah master mind-nya.Â
The Underdog's yang bersatu padu, berkomitmen, bersungguh-sungguh selalu bisa menulis sejarah besar yang tak terbayangkan sebelumnya. Ranieri dan Leicester pernah memberi contohnya. Contoh yang dalam 100 tahun sepakbola belum tentu ada lagi, seolah keniscayaan yang mustahil. Terlebih pada gairah menulis sejarah yang didominasi kasta elit alias klub-klub super dengan investasi besar. Narasi tandingan Leicester membuat klub serupa Juventus, Barcelona, Real Madrid, Manchester United, Bayern Munchen tidak ditakdirkan sebagai penulis sejarah tanpa alternatif. Â Â
Saya sepenuhnya kagum pada cinta tak pernah surut Mas Joko P terhadap Real Betis. Klub gurem yang bertahan di level bawah La Liga. Sekali lagi, bertahan di level bawah!
Ranieri sudah pernah membuktikan bangsa Underdog's selalu bisa menulis sejarah tandingan. Sejarah tandingan yang membuat kesedihan saya, terlebih kala memandang matanya yang sendu, tidak perlu berlarut. Walau saya tahu, masa tua seperti Ranieri bisa memangsa kapan saja.Â
Anda abadi Om Ranieri, waktulah yang fana!
*** Â Â