Tentu saja saya suka membaca karya-karya Aan Mansyur. Pengarang ini pintar menciptakan misteri cerita, kemudian mengurainya dengan cara yang menyeret pembaca untuk ikut mengalir sampai akhir. Jangan lupa, bagaimana pun Aan seorang penyair. Di sana-sini muncul jalinan kata-kata bernapaskan puisi yang tidak jarang membuat bahasa ceritanya lebih berbunyi.
Di Kukila, Saya hanya membaca dua cerita yang dipilihnya secara acak. Aku Selalu Bangun Lebih Pagi, tentang pemilik toko yang terlalu sibuk dengan penilaian orang atas dirinya, karena itu picik pandang, dan harus menanggung sakitnya kehilangan cinta. Cerita kedua, Hujan. Deras Sekali. Cerita tentang hubungan-hubungan cinta terlarang antar pasangan-pasangan yang mendoakan hujan terus berlangsung. Agar mereka selalu memiliki alasan tidak bisa pulang dan terus bercumbu dengan selingkuhannya.
Dua cerita dari Kukila masih juga tak bisa membuat kantuk menginjak matanya. Sama tak sukses membuat jalan darah melambat ke otaknya. Hujan di luar masih deras,mata Saya masih terang benderang. Lebih dari sebelum dua pemuda bertamu.
Apa yang harus dilakukannya? Saya merebahkan badan, menerawang ke langit-langit.
“Wahai, mengapa tidak membuat cerita pendek saja,” katanya pelan.
Saya kemudian menyalakan laptopnya, Lenovo yang baru setahun menemani. Setelah hampir tiga puluh menit menulis, mengeditnya, Saya merasa mantap mempublikasi di akunnya. Cerita yang dibuatnya aalah tentang seorang pria, pada satu hari, di dalam kamar yang tiba-tiba tidak ramah terhadap rasa kantuk. Kamar sebagai ruang paling pribadi dimana segala kepemilikan benda-benda pun mimpi-mimpi hanya bisa diakses oleh pemiliknya, kini menolak tunduk. Walau sudah dinihari, di bawah guyuran hujan deras, kamar itu menolak ditiduri lebih awal.
Dilihatnya jam di sudut kanan bawah, sudah masuk pukul 3:05.
“Semoga Admin yang belum tidur tetap sehat dan Saya segera ngantuk. Amin.”
Doanya sesudah tulisan itu muncul di laman TERBARU. Hoaaaam.
***