Kebabalasan itu kelewatan. Perilaku yang telah melewati batas normal, normatif, atau batas yang logis. Perilaku atau kecenderungan perilaku kolektif untuk bertindak di luar koridor yang baik-baik, yang seharusnya, yang seidealnya. Sebab itu, bisa dibilang, yang perayaan kebabalasan adalah senjakala keteraturan, moral, dan yang masuk akal.
Misalnya saja. Kalau Anda bagian dari masyarakat fans dalam kehidupan politik yang terkubu-kubu. Anda pro penuh pada satu figure atau blok politik dan sepenuh benci dan jijik pada figure lain beserta politiknya. Tidak ada yang benar pada mereka dan sebaliknya, pada kubu Anda tidak pernah ada kesalahan.
Walhasil, laman facebook atau twitter menjadi majalah dinding—yang sama bermakna dikelola oleh kesadaran serta emosi semirip remaja labil, baru melihat pucuk daun, bercerita seisi hutan!-- yang ramai dengan puja-puji dan dukungan tak bersyarat atau olok-olok dan rasa muak tak berujung. Dua kutub diametral ini selalu hanya dan hanya selalu terlihat hitam dan putih. Tentu saja, Anda di arsiran berwarna putih. Anda bersama rombongan yang selamat dunia akhirat.
Satu fundamental yang Anda abaikan adalah posisi sebagai fans: selalu berdiri di luar panggung.
Panggung selalu memiliki tiga dimensi: dunia di depan panggung, dunia di atas panggung dan dunia di balik panggung. Tiga susunan dunia ini bukan semata bermakna tiga jenis “lakon” yang harus dimainkan. Ia juga menyembunyikan tiga jenis relasi kuasa yang dirawat.
Kuasa inti tentu saja terletak di balik panggung. Seperti apa kuasa di balik pangung?
Cobalah untuk menonton film State of Play (2009) yang diperankan Ben Affleck dan Russel Crowe. Dua sahabat sekamar zaman sekolah hingga yang pertama menjadi senator bernama Stephan Collins dan kedua mengabdi sebagai jurnalis media cetak bernama Cal McAffrey.
Kisah State of Play dimulai dari matinya seorang kriminal kecil dan tertembaknya seorang pengantar pizza pada sebuah malam yang basah. Berurutan dengan itu, matinya seorang perempuan muda yang bekerja sebagai staf ahli pada sang senator. Si rekan jurnalis mula-mula tertarik pada kematian misterius yang membawanya masuk pada “bukan peristiwa kriminal harian”. Gambar pertama ini bisa disebut sebagai dunia depan panggung, dunia orang-orang biasa yang terjebak dalam kondisi yang tidak sepenuhnya disadari.
Pada sisi yang berbeda,pada dunia yang bergulat dalam ruang-ruang rapat berpendingin dengan manusia-manusia berdasi, rambut kelimis, dan sepatu mengkilap, sang senator sedang menjadi bintang bersinar dalam persidangan yang menginventasi sebuah kontraktor keamanan swasta. Sang senator mencium aroma tidak sedap, sejenis kehendak untuk memonopoli system keamanan kedalam kuasa kekuatan korporasi/swasta. Sidang-sidang ini, tentu saja, menyedot antusiasme kuli berita.
Gambar kedua bisa dikategorikan sebagai dunia di atas panggung dimana para pelaku kunci, aktor utama, memainkan lakon demi mencapai kepentingan politiknya.
Usut punya usut, tiga kematian itu tidak berdiri sendiri. Si perempuan muda terlibat asmara dengan senator, tentu saja. Perempuan muda itu ternyata adalah agen yang diselundupkan korporasi untuk mematai-matai kinerja senator yang celakanya memberi posisi kunci sebagai kepala tim peneliti. Sedangkan si jurnalis, yang hidup sendiri, pernah tidur dengan istri senator, justru menyediakan dirinya untuk membantu rekan sekolahnya dulu.