Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

A Life Beyond Boundaries dalam 9 Catatan Penting

20 Januari 2017   08:39 Diperbarui: 13 Desember 2019   10:37 1009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka yang menjadi pengkaji Indonesia atau Filipina, kata Opa Ben Anderson, cenderung mendukung nasionalis-nasionalis populer seperti Sukarno, Jose Rizal atau Ho Chi Minh. Dengan kata lain, menjadi “kiri”. 

Berbeda dengan pengkaji Siam/Thailand, menurutnya, menjadi konservatis karena realitas wilayah kajian yang berstruktur politik monarkis.

Dalam semangat di atas, disertasi Opa Ben Anderson jelas dipengaruhi oleh karya besar George Kahin tentang Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia tersebut, khususnya pada bagian tentang pendudukan Jepang yang dirasakan paling lemah. Kahin-lah yang menganjurkannya, “Mengapa tidak mengkaji pendudukan Jepang?”

Walau begitu, catatan kelima, pengaruh Kahin terhadap dirinya bukan semata intelektual namun juga yang tak kalah penting dicatat adalah sikap progresif dan aktivisme politik dalam menentang kolonialisme Barat. 

Kahin ikut terlibat dalam memperjuangan pemerdekaan Indonesia dengan lobi-lobinya. Relasi ini semacam pembentukan progresivisme intelektual yang melengkapi progresivisme genetikal, katakan saja begitu.

Di awal kedatangan untuk kerja lapangannya di Indonesia--negeri yang selalu sebagai cinta pertamanya-- Opa Ben berkisah tentang suasana Jakarta yang masih merupakan kampung besar. Ada kisah yang membuatnya mengalami “gegar budaya”.

Satu kesaksian penting gegar budaya itu adalah manakala dirinya bertemu orang gila perempuan, konon karena patah hati, berambut panjang dan bugil berada di arena publik secara bebas. Warga bahkan ada yang mengurusi perempuan gila ini, misalnya dengan memandikan atau memberi makan tapi tidak memberinya pakaian karena selalu disobek. 

Kata Opa Ben, kalau di Eropa, yang kayak begini sudah lama hidup dalam isolasionisme sebagaimana, kalau tak salah, pernah dikaji Foucault dalam Madness and Civilization. Indonesia saat itu jauh lebih ramah terhadap orang gila.

Satu potret ruang yang membuatnya berkesan adalah atmosfir egalitarianisme zaman pergolakan yang terawat selama masa revolusi fisik 1945-1949, egalitarianisme yang menghantam sikap-sikap feodalistik. Egalitarianisme yang berwujud, selain pada sapaan “Bung”, juga pada meja-meja catur di pinggir jalan pada malam hari. 

Di meja catur, seorang pejabat kantoran bisa adu strategi di bidak catur dengan seorang tukang becak atau seorang pengusaha dengan juru ketik, misalnya. Tak ada batas kelas, catur meleburkan semua (maka lihatlah Indonesia hari ini, kawan!). Tradisi egalitarianisme meja catur berangsur-angsur hilang di bawah era kepemimpinan the Smiling General, Suharto. Ini catatan penting ke enam.

Konteks penting lain tentang Indonesia di masa pembangunanisme--catatan penting ketujuh-- adalah kisah dibalik lahirnya Imagined Communities. Buku yang terbit tahun 1983 ini memang diniatkan untuk memicu polemik tentang nasionalisme dengan pembaca utama Inggris, negeri dari garis leluhur Ibunya. Buku ini mendapatkan respon rendah di audiens Amerika Serikat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun