No, no, no! Jangan menilai lebih ente-ente orang. Saya belum setua yang kepalamu bayangkeun. Saya hanya disuruh senior di jurusan agar datang. Bilangnya begini,Â
"Dimana ngana, Ji?"
"Di kost. Qyapa dang Bos?"
"Nda kuliah?"
 "Kuliah? Sedang makan so susah mo kuliah."
"Kamari jo?"
Kemudian senior yang seolah dikirim Sang Maha Pengasih itu memberi alamat hotel dan ogut cabut dalam tempo yang tidak bisa ditakar dengan stop watch. Waktu menunjukan pukul 12.30 WITA.Â
Sesampai disana, saya langsung saja masuk ke ruang yang paling ramai dan menawarkan kebahagiaan: ruang makan. Sepintas kilat memandang di depan sebuah meja bertaplak kain putih, senior saya itu tengah berdiri dengan piring di tangan. Di memandang ke saya, saya mengirim kode kepadanya. Tanpa perbaba alias pernyataan basa basi terlalu banyak, saya sudah dengan piring dan beridri di belakangnya. Celakanya, dia berbisik, "Hati-hati, jangan sembarang ambil."
Hadeeeh. Masa iya lapar berat terus makannya pakai diperingati begitu?
Maka dari pada itu, kami hanya mengambil nasi putih dan perkedel. Setiap orang satu. Padahal ada ayam garo rica dan rendang sapi yang menari genit di piring. Kami terus duduk di pojok dan makan dengan pelan-pelan (saya sambil menunda gugur air mata). Tetiba Om Sumartana menghampiri meja kami, "Lho, kok makannya pakai perkedel saja? Itu makanan yang masak orang Islam kok."
Maaaaaaaak. Sudah tahu alasan kenapa saya dan senior sok tahu itu hanya perkedel dan nasi putih?Â