21.00
Wajahnya terus menunduk pada layar persegi yang dipegang oleh jemarinya yang panjang. Lengan bajunya yang panjang, dalam posisi memegang seperti itu, agak tersingkap dan memperlihatkan kulit putih dengan bulu-bulu yang halus. Kukunya diberi kuteks berwarna bening sehingga cahaya kekuningan dari lampu di atas rak itu seolah telah pindah ke jemarinya. Sesudah menunduk, ia berbalik, menghadap rak Fiction, menjulurkan kedua tangan yang memegang benda pergi yang memancarkan cahaya. Jepreet. Ia mengabadikan gambar sebuah buku.Â
Kemudian kembali menunduk, hening di depan layar. Rasanya ia mengirimkan foto buku dan bukan satu foto saja. Ia mengirimkan kepada seseorang yang membuatnya jatuh cinta. Itu terlihat dari binar matanya dan senyum kecil di ujung bibirnya yang berwarna merah tanpa lipstick. Ia sendiri mungkin tidak menyukai buku, jatuh cintalah yang memaksanya menjadi seolah mencintai buku.
22.00
Ia berjalan pelan, menyusuri lantai ubin dengan cahaya yang berpancar warna-warni dari banyak sisi. Di tangannya yang sebelah kiri, pada ujung jari telunjuknya yang membentuk serupa kait, bergantung kantung plastik berwarna putih dengan logo sebuah toko buku besar yang mengusung slogan Imagination. Transformed. Langkah kakinyanya yang bercelana pendek dan sendal jenis outdoor seperti tidak menginjak bumi, pikirannya memang sedang menerawang. Karena itu ia tak lagi memperhatikan jika di dalam ruang besar dengan pendingin yang mulai dimatikan, hanya dirinya yang sedang berjalan.Â
Ketika tiba di lorong dengan deretan outlet yang sudah ditutup, ia masih belum menyadari sepenuhnya atau tidak bertanya, jangan-jangan hanya dirinya orang terakhir yang meninggalkan gedung besar dengan segala macam barang rumah tangga, pakaian orang dewasa hingga anak-anak, tempat minum kopi dan makan, hingga bioskop.Â
Lorong itu membawanya ke sebuah tangga berjalan yang ujungnya adalah pintu keluar, bertemu udara malam yang bebas.
Di depan pintu keluar, ia berhenti sejenak, menatap langit. Memastikan hujan belum akan turun seperti sore tadi ketika ia berangkat dari kamar kosnya. Ia kemudian mengambil sebatang rokok, menyalakannya dengan korek gas bermerek Indomart dan menghembuskan kepul asap hingga samar dibekap udara malam. Beberapa saat ia masih berdiri seperti patung yang merokok dan, tampaknya juga berarti, hal yang menjajah pikirannya selama berjalan keluar belum benar-benar pergi.
"Mas, permisi."
Suara inilah yang membuatnya kembali pada kenyataan bahwa ia masih saja mematung di depan mal yang mulai gelap dan hening. Ia menolehkan pandangannya ke dalam ruang yang mulai gelap dan hening itu dan tetiba tersenyum cemerlang. Tampaknya telah menemukan jalan pembebasan dari perkara yang sedari tadi membuatnya menerawang.
"Yap."