Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Bapak Ingin Punya Mobil

3 Januari 2017   10:33 Diperbarui: 3 Januari 2017   19:37 2129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya shock. Saya berpikir ini adalah kenakalan kecil yang membanggakan dan seharusnya diceritakan. Ada ketegangan yang terlarang namun terus membujuk untuk mengulang, seperti candu. Ternyata Bapak menghendaki yang sebaliknya.

“Bapak membayar kereta?”

Saya mengejar lagi dengan pertanyaan yang sama.

“Ya, kadang membayar, kadang tidak. Tergantung petugas gerbongnya,” jawab Bapak. Matanya masih tetap menerawang. Masih bernostalgia sendirian.

Sebenarnya Bapak jarang berdiam seperti ini manakala sedang mengenang masa kecilnya. Mengenang masa sulit dan berjuang menjaga hidup agar tidak terpuruk sebagai riwayat kegagalan. Terlebih ketika memiliki istri, anak-anak, dan cucu. Ia ingin menjadi suami, bapak dan kakek yang dibanggakan turunannya. Sebagaimana ia membanggakan kakek dan nenek. Karena itu, ia selalu memiliki cerita dengan pesan-pesan yang kuat.

Misalnya saja Bapak pernah tiba-tiba duduk berjongkok di tanah berpasir, di dekat kebun jati kami.

Bapak kemudian menceritakan filosofi rumah dalam kebudayaan leluhurnya. Mengapa bentuk atapnya seperti itu dan mengapa susunan ruang di dalam rumah harus begitu. Ada nilai-nilai yang bukan saja berkaitan dengan dunia sosial tetapi juga dunia yang sakral.

Bapak pernah pula bercerita tentang asal usulnya leluhurnya, dari garis kakek pun nenek. Awalnya memang dipicu oleh pertanyaan saya, “Sebenarnya kita ini datang dari mana?”

Saya bertanya begini karena kagum sama Ibu. Ibu saya menguasai betul silsilah keluarganya, ke atas mau pun yang sudah melebar ke samping, beranak pinak menyebar dimana-mana. Karena itu ketika saya sudah merantau sendiri—tentu saja sebagai manusia dewasa, seorang suami sekaligus memiliki seorang anak—ibu akan memberitahu ada keluarganya disini dan kalau bisa, saya harus bersilaturahmi.

Bapak sebenarnya pernah bercerita keluarganya yang tersebar dimana-mana, jenis keturunan perantau juga, sama seperti ibu. Bapak bahkan memendam keinginan untuk mengunjungi mereka satu demi satu, khususnya yang memahami benar sejarah silsilah, demi memenuhi penggal riwayat masa lalunya yang dirasakan masih kurang dipahami. Akan tetapi waktu dan kesempatan belum tersedia dan ketika sekarang, sesudah pensiun, Bapak sudah tak cukup tangguh jika harus bepergian dengan bis atau kereta.

“Akan banyak memakan waktu dan tubuhku sudah tak kuat menanggung lelah karena jauh perjalanan,” katanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun