[caption caption="Sarung dan Jendela | dok.pribadi."][/caption]
Di masa revolusi adalah pertaruhan harga diri, sarung menjadi sekutu lahir batin tubuh.
Tubuh sarat riwayat, jejak patah tumbuh lelah bertempur. Atau menjaga pantat dari serang nyeri angin sebab terkena peluru kumpeni mabuk ketika kabur dari sergap mendadak Kempetai, bengis Timur Asia yang geram mengejar kaum kuminis layaknya memburu babi. Sementara langkah menelusuri duri nipah dengan perintah rahasia jendral dari tandunya,”Jangan sampai ketahuan!” harus segera berubah penyergapan.
Sarung pun sering menemani tubuh, turut nimbrung dalam percakapan gelisah di depan radio atau berhujan terik di vergadering sembari menyerap “Merdeka atau Mati! Sekali Berarti sesudah itu Mati!” dengan gelegar yang lebih sangar dari petir. Dan ketika gelegar suara itu dibungkam penjara, sarung tak meninggalkan tubuh yang dipapar popor senapan dan bentak yang bikin pengak telinga,”Overdomen, dimana inlander-inlander tai kucing itu bersembunyi?!”
Sarung pernah pula merawat hangat tubuh dari demam kuning dan serangan nyamuk yang nekad bunuh diri di tengah hutan pembuangan dengan pertaruhan hidup mati yang lebih sunyi dari semedi. Atau, ketika masa tenang adalah perang yang belum matang, sarung tak gentar menemani tubuh menikmati kopi di beranda senja dengan moncong Sherman bersiap meledakkan hidup dan kenangan di dalam rumah.
Sesudah revolusi mengalami aborsi berkali-kali, sarung dipenjara cemas dengan masa lalunya.
“Di depan gelap dan dingin, lantas udara tak lebih dari penjumlahan desah dan keringat pergulatan syahwat, aku terbiar sebagai alas setrika kaus Tan Malaka yang tak pernah tertawa. Aku ini siapa?” ujarnya kepada rembulan.
“Di bawah terang dan gerah, hari tak lebih dari perkumpulan cakap manusia-manusia kalah di warung kopi, aku hanya penutup selangkangan yang jarang sikat gigi, aku ini untuk apa?” gusarnya kepada matahari.
Bersedu sendu ia di depan debu museum.
“Aku lahir dan besar dalam masa revolusi. Sekarang tak lebih berguna dari menyembunyikan tai tubuh yang menunda mati!”
Sedang tubuh yang setia ia temani, satu-satunya sekutu yang mengerti, telah lama bunuh diri. Di masa revolusi mati dalam aborsi, ia terlanjur dituduh kaki tangan separatis.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H