Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mewabahkan Gagasan Lewat Tulisan ala Contagious

27 Oktober 2016   10:17 Diperbarui: 27 Oktober 2016   18:25 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pernah membaca riwayat tua. Riwayat tentang bagaimana sebuah produk gagasan (buku) dibikin menjadi heboh, kontroversial, memancing polemik, karena itu laris dicari.

Cerita seorang pemikir besar yang lahir 5 Mei 1818. Ia menulis buku kemudian menulis resensi menggunakan nama samaran. Ia, sepertinya, memang harus melakukan itu agar gagasannya yang though provoking bisa mengambil tempat dalam pesona pemikiran sebelumnya.

Siapakah nama pemikir itu? Googling aja, males banget ah.

Era sudah bergeser jauh dari zaman di mana menulis di koran masih jadi sandaran hidup cerpenis sekelas Anton Chekhov. Koran-koran bahkan marak diprediksi sedang menuju akhir sejarah. Sekarang ini, dalam promosi karyanya, manusia dimudahkan oleh teknologi bernama sosial media. Ada Twitter, Facebook, juga blog warga seperti Kompasiana yang bisa menjadi media penghubungnya.

Karya yang popular tidak selalu harus masuk major label, walau itu syarat yang masih diperlukan.

Misalnya saja, rencana kumpulan cerpen saya yang berjudul “Nona yang Ingin Membunuh Senja” tampaknya akan lebih memiliki jalan laris jika diterbitkan grup Gramedia dibandingkan saya nyetak indie. Grup Gramedia bukan saja jaminan nama besar dalam industri bacaan, ia juga memiliki jaringan pemasaran yang luas. Jelas sudah duduk rasionalisasinya.

Walau begitu, dalam kontrol major label yang bukan saja mengendalikan pasar juga selera, kualitas karya yang lahir dari percetakan kecil atau indie tidak otomatis rendah derajatnya. Saya ingat, Goenawan Mohamad adalah salah satu yang mengapresiasi jika dengan kehadiran teknologi sosial media, banyak karya-karya sastra, puisi khususnya yang berkelas namun lolos dari amatan.

Karena itu persoalannya ada pada pergulatan kreatif di balik karya dan teknik promosi yang tepat. Bukan pada 'kolaborasi ekonomi dan politik percetakan' di balik megah nama major label.

Pada teknik promosi atau bagaimana membuat sebuah karya, produk, ide-ide, atau isu menjadi popular inilah, buku karangan Jonah Berger mungkin bisa membantu. Buku itu berjudul Contagious (terbit pertama kali dalam edisi Bahasa Inggris tahun 2013), yang disebut-sebut best seller pada New York Times dan Wall Street Journal, kini sudah hadir. Bisa dijadikan buku resep atau permenungan sosial, terserah apa kepentingan Anda.

Buku ini sudah diterjemahkan Gramedia Pustaka Utama, jadi silahkan saja ke gerainya. Kala Buku, Kala Gramedia, to?

Contagious, Enam Langkah Menuju Populer
Jonah Berger mulai dengan menceritakan kasus. Ia kemudian menyimpulkan jika lebih mudah menunjukkan contoh sesuatu yang popular ketimbang membuatnya popular. Bahkan, ini penting diperhatikan, ada banyak biaya dikeluarkan untuk iklan dan pemasaran, tak banyak produk otomatis menjadi popular.

Di Youtube, misalnya.

Ada banyak video produk yang ditampilkan, orang juga hanya perlu tersambung koneksi internet untuk menyaksikannya. Ada beberapa video memiliki ongkos produksi lebih tinggi—artinya kualitas gambarnya lebih bagus, misalnya—tetapi, kata Berger, kebanyakan video yang mewabah justru yang buram, tidak fokus, dan dibuat oleh amatir (hal 8).

Kenapa bisa? Tanya kenapa?

Dari pertanyaan ini, Berger juga menggugat mitos hubungan otomatis antara keramaian percakapan di dunia digital/online (al: facebook, twitter, dll) tentang satu produk atau gagasan maka keramaian yang sama akan terjadi di dunia nyata (offline).

Menurut saya, Berger sedang bicara tentang produk, gagasan, atau perilaku yang menggerakan orang-orang. Bukan sekadar ramai di percakapan online.

Konon, manusia hari ini merelakan waktu online rata-rata dua jam, para pengguna sosial media juga mengalami ledakan. Di Indonesia, menurut Kata Data, jumlah penggunaan smartphone bahkan lebih banyak dari angka jumlah penduduk, tapi Berger meyakini manusia masih lebih banyak menghabiskan waktu dengan percakapan offline.

Artinya, untuk membuat popular sebuah produk atau gagasan dan menggerakkan orang-orang, ada basis sosial real yang harus digarap. Dalam bahasa Berger, ada kekuatan transmisi sosial yang harus disadari dan digarap. Ada yang namanya getok tular.

Berger meyakini getok tular adalah faktor yang bekerja dibalik 20 hingga 50 persen keputusan untuk belanja!

Apa sih getok tular itu?

Akar serabut getok tular adalah kebiasaan manusia untuk bercerita atau berbagi kesaksiannya. Misalnya saja ketika Mba Aryani Na bercerita tentang tujuan wisata yang dahsyat di Lombok kepada teman-temannya di facebook atau lewat Kompasiana. Atau ketika Pakde Bambang Setyawan bercerita tentang sisi-sisi yang humanis dan penuh persaudaraan tentang kota Salatiga lewat Kompasiana.

Atau, kasus saya aja deh.

Yang ketika tahun lalu, kebakaran begitu parah melanda Kalimantan Tengah, saya banyak sekali bercerita lewat kanal fiksi betapa berat penderitaan dan betapa geramnya kami terhadap situasi. Nada sedih yang sama ini diperkuat oleh Bang Aldy Arifin dari kesaksian-kesaksian yang lebih 'ilmiah' dari pengalaman rasa sakit bencana asap di Kalimantan Barat.

Cerita-cerita tersebut memang dibaca orang. View-nya lumayanlah, apalagi kalau kena headline dan di-share berkali-kali sama Admin’s. Tapi, apakah tulisan-tulisan itu menggerakkan orang-orang di dunia nyata untuk pergi ke Lombok? Belajar hidup rukun pada Salatiga? Atau menunjukkan komitmen yang lebih cinta lingkungan sesudah dipapar kesedihan saya?

Tidak ada jaminan. Bahkan sangat bisa jadi, cerita-cerita tersebut hanya ramai dalam sesaat reaksi dan percakapan online tokh! Selebihnya, lupa, lupa, lupa. Cerita-cerita saya gagal menjadi selevel lagu Words: it’s only words. The words are all I have to take you're heart away!

Jonah Berger, sejauh saya tidak salah faham, berkosentrasi menulis bagaimana sebuah produk atau gagasan mewabah dua arah, online dan offline.

Lebih persisnya, apa kekuatan dibalik sebuah produk atau gagasan yang popular?

Enam Prinsip Pewabahan ala Contagious (hal 28-30).
Pertama, Mata Uang Sosial.

Yang dimaksud dengan Mata Uang Sosial adalah dalam memproduksi satu produk atau gagasan, kita perlu menemukan keistimewaan mendasar kita dan membuat orang merasa sebagai bagian dari bagian dalam kita.

Kedua, Pemicu.

Kita perlu merancang produk dan gagasan yang sering dipicu oleh lingkungan dan menciptakan pemicu baru dengan menghubungkan produk dan gagasan kita dengan petunjuk yang sudah mapan di lingkungan termaksud.

Ketiga, Emosi.

Dalam menciptakan gagasan atau produk, alih-alih bicara fungsi, kita sebaiknya menggarap sisi yang emosif. Termasuk emosi negatif.

Keempat, Umum.

Produk atau gagasan yang dbuat sebaiknya lebih terlihat mudah ditiru. Selaras dengan kaidah 'monkey see, monkey do!' Kita perlu merancang produk dan prakarsa yang mengiklankan diri dan menciptakan sisa perilaku yang meninggalkan jejak bahkan setelah orang memberi produk atau mendukung gagasan.

Kelima, Nilai Praktis.

Kalau kita bisa menunjukkan kepada mereka bagaimana produk atau gagasan kita akan menghemat waktu, meningkatkan kesehatan, atau menghemat uang, mereka akan menyebarkan informasi itu.

Keenam, Cerita.

Kita perlu membuat pesan kita begitu menyatu dengan narasi sehingga orang tidak bisa menyampaikan cerita tanpa informasi yang dikandungnya.

Dari enam prinsip atau kiat yang menjadi kekuatan dibalik sebuah produk atau gagasan popular ini, sekali lagi, yang disasar bukanlah keramaian online. Contagious menyasar dampak pada populasi. Contagious menunjukan cara menggerakkan orang banyak untuk mendukung atau membeli sebuah produk.

Contagious juga menunjukkan bahwa pemahaman yang baik tentang kekuatan transmisi sosial, di mana di dalamnya manusia saling terikat menurut identifikasi diri, selera, imej, nilai-nilai praktis, 'ideologi politik', dan lainnya terlibat ke dalam 'kepentingan yang kita tawarkan', terlepas politik atau bisnis.

Saripati contagious, hemat saya ada dalam pemahaman juga pratik akan enam prinsip ini bersama pengertian tentang kekuataan transmisi sosial seperti getok tular.

Intinya, dalam satu produk atau gagasan, kelompok yang disasar jangan diposisikan berdiri di luar, jangan membuat hubungan sebagai subyek dan obyek. Bikin mereka menjadi bagian dari sesama subyek, walau pun itu hanya 'pura-pura' (pseudo subject), karena kita menghendaki cerita baik mereka dan uang yang terus mengalir. Atau karena kita mengharapkan dukungan suara mereka walau sesudah itu, urusan kelola kekuasaan, nasib masing-masing.

Selebihnya, pada bab-bab berikutnya, Jonah Berger mengurai kasus-kasus konkrit yang juga penting dibaca hingga tuntas. Saya tidak akan bahas itu. Silakan beli bukunya. Saya sendiri belum baca bagian-bagian yang mengurai detail dari enam prinsip ini.

Catatan terakhir saya, Contagious bukan percakapan moral di balik yang popular. Ini buku tentang strategi. Ini juga bukan resensi, catatan provokasi, iya.

Salam setengah siang, selamat tidur Sarung!

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun