Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Spiritualitas Semu, Sedikit Catatan Cocokologi

12 Oktober 2016   09:36 Diperbarui: 12 Oktober 2016   10:03 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bangun pagi dengan mimpi yang samar-samar pada tubuh yang selalu gagal memenuhi hasrat memenangkan kompetisi dunia sehari-hari ( tentang kerja yang layak, karir yang sukses, gaya hidup yang super, dan kesenangan yang bisa diakses kapan saja) hanya akan menjadi monolog memuakan jika pikiran tidak lekas menghempaskannya kedalam keranjang sampah bersama bungkus kopi yang tadi malam kau beli pada sebuah warung sederhana dengan anak gadis penjaga yang selalu gembira dengan sapa, "Cari apa Mas?" pada semua pembeli sementara di lekas GR benakmu , hanya kepadamulah ia berlaku manis begitu sedang dari balik rak barang-barang penuh debu di bawah temaran cahaya neon, sebuah wajah dengan senyum sinis yang dingin berkata dalam hatinya, kena!

Pembuka paragraf ilustratif yang meniru tutur dalam cerpen ingin mengatakan dalam kalimat yang sama tidak bisa dibaca lekas-lekas bahwa dalam masyarakat yang mencapai kepenuhan konsumsi, ingin dan butuh menjadi sulit sekali dibedakan. Sama juga bilang apa yang mutlak dan relatif bercampur aduk. Sehingga, kebutuhan untuk makan bukan lagi semata keharusan memenuhi asupan karbohidrat, protein, dan vitamin, misalnya, namun juga keharusan itu sendiri telah dipenuhi juga dengan citra (gambar mental, konsepsi) yang dilekatkan untuk memberi daya bujuk psikologis atas makanan. 

Citra yang penuh bujuk rayu ini tidak selalu bicara tentang makanan sebagai makanan. Kebanyakan, makanan sebagai identitas sosial. 

Makanya juga, sering yang jadi masalah bukan pada gambar mental pembujuk rayu ingin itu akan tetapi pada manusia yang tidak memiliki lagi kemampuan menolaknya. Kemampuan menolak yang boleh kita bilang sebagai daya asketik tubuh-pikiran, tak cuma kritik. 

Asketisme diberi pengertian oleh KBBI daring sebagai paham yang mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban. Tapi asketisme bukan sekedar disiplin menjalankan tiga hal itu. Kalau mau sejenak memeriksanya pada fasilitas google, maka kita akan menemukan penjelasan jikalau asketisme merujuk pada disiplin teologis tertentu. Pada semua acuan teologis, baik yang beriwayat pada Abrahamic Religion pun bukan, asketisme itu sudah lama dikembanglestarikan.

Saya lupa-lupa ingat, Kawan. Tapi saya memilih menceritakan saja. 

Romo Herry Priyono, yang pernah menjadi murid juga pernah menulis buku pandu ringkas kepada pemikiran sosiologis Anthony Giddens di London School of Economics, sempat mengulas satu kisah laku asketisme tua sebelum ada agama-agama formal (yang memiliki kitab suci). Menurutnya, ada dua laku asketisme, pertama, yang total menolak dunia. Dunia disini adalah semesta perayaan akan pemuasaan keinginan tubuh atau kata Gus Mus, terlalu berat pada "pemujaan daging". 

Kedua, asketisme yang hidup dalam dunia, yakni model asketisme yang tetap merayakan keinginan daging dimana dari padanya dibangun permenungan dan penemuan akan gairah spiritualitas. Yang kedua ini, dikembangan oleh Epicurus, salah satu filsuf klasik Yunani sezaman Plato dan Aritoteles. Epicurus disebut sebagai yang mengembangkan "rational hedonistic ethic". 

Selebihnya, googling aja Coi!

Dari dua model jalan asketisme ini, satu dasar yang menyatukan mereka adalah daya spiritualitas manusia. Barang apakah spiritualitas itu?

Kalau mengikuti pengertian Spiritual Quotient (SQ) Zohar dan Marshall (2004), maka itu menggambarkan kemampuan untuk menyerap makna-makna terdalam, nilai-nilai, tujuan dan motivasi dalam hidup manusia. Definisi ini bisa dibaca pada tulisan ini. 

Seingat saya, sorry nih banyak seingat-seingat, dalam penelitian Zohar dan Marshall, kemampuan seperti ini bersifat potensial, bukan terberi (given) dan karena itu butuh ujicoba laku dan latihan sepanjang hayat. Zohar dan Marshall, lewat eksperimen mereka, meyakini bila di dalam kesadaran manusia ada fasilitas yang diberi nama God Spot, yang memungkinkan manusia selalu cemas dan bertanya akan hakikat diri dan semesta.

God Spot, seingat saya lagi, potensi yang tidak berjudul kelamin agama. Ini milik semua manusia. Artinya apa, agama-agama memiliki jalan spiritualismenya sendiri-sendiri. Bahkan, agama bisa saja hanya salah satu petunjuk menemukan spiritualitas yang menyambungkan kefanaan manusia dengan eksistensi supra-duniawi. Agar manusia tidak hidup dalam kecemasan berlebih akan kematian dan ketakutan pada hidupnya sendiri. Ini sama artinya, potensi manusia menjadi makhluk spiritual telah ada sejak lama sebelum agama-agama Langit memberinya pengertian dan petunjuk yang lebih sistematik. 

Saya kira kekuatan inilah yang membawa para Nabi dan Rasul dalam riwayat agama-agama Langit kepada permenungan diri yang menghantar mereka pada pencerahan spiritual. Mereka merenung, artinya menggunakan karunia akal-rasanya dalam memaknai hakikat yang abadi. Ada "ilmu", olah rasional-mental. yang digunakan melewati bermacam-macam pertanyaan dan cemohaan bahkan ancaman pembunuhan sebelum tiba pada pencerahan yang membebaskan manusia dari tipu daya "daging dunia". 

Ada Guru/Mursyid yang menjadi pemandu jalan tanpa menjelaskan ke khalayak jika dirinya adalah Sang Pemandu. Guru-guru seperti ini adalah pribadi yang menggemari hening. Karena itu, jarang mudah ditemukan Kawan!

Sampai disini, cocokologinya masih waras ya?  

Jadi Prend, di setiap agama langit pun bumi, ada kelompok yang memilih jalan penghayatan spiritualitasnya. Jangan disangka hanya agamamu!

Dua pembedaan yang dibuat Romo Herry juga penjelasan yang terlalu kikir atas SQ-Zohar dan Marshall di atas, mengingatkan saya pada "skandal Guru Spiritual" manusia modern di Indonesia yang selalu menciptakan "geger kecil" di media massa. Skandal berulang yang sudah kau baca itu, juga mungkin, sudah turut kau komentari. Rangkaian narasi skandal, baik di terjadi kalangan atas pun bawah, kalangan jelata pun artis serta intelektual,  yang membuat spiritualisme, atau laku asketisme, itu seperti guyonan jelek di musim politik yang basi saja. Humor yang buruk!

Karena itu, kembali pada paragraf ilustratif bertutur cerpen di pembuka coret-coret ini, bagi saya asketisme yang menolak total dunia pun hidup dalam dunia, bukan tentang bagaimana memenangkan dunia dalam perburuan kesenangan daging atau kehendak megalomaniak menjadi penguasa langit yang baru yang disamarkan dalam ritus tertentu. Rasanya juga, bukan tentang daftar kekaguman yang dipanen karena kemampuan menampilkan gambar-gambar ajaib di depan mata yang, bisa jadi, seperti dalam film Sherlock Holmes besutan Guy Richtie (2009), adalah rekayasa sains tingkat paling tinggi.

Kedua, tetap saja dua opsi asketisme ini membutuhkan olah rasional-mental yang tahan banting, dan paling penting, selain membutuhkan guru yang "sudah berdiri di depan bujuk rayu kesenangan duniawi", juga menurut saya, menghindari gemerlap yang sensasional. Bahkan lebih mendasar lagi, terhadap perasaan GR telah menjadi spiritualis itu sendiri seharusnya ditangkap sebagai bahaya karena ia justru akan menjadi perangkap psikis yang membenamkan pada sikap "merasa paling benar" (ekslusif).

Ketiga, segala jalan instan yang menjanjikan pencerahan adalah omong kosong. Termasuk, yang menjanjikan ketenangan batin abadi pada tubuh dan jiwa yang kalah oleh pasang surut keseharian yang bikin benci-benci tapi rindu. Dalam tutur sejarah, tidak ada kisahnya pencerah-pencerah besar menggunakan metode instan dengan klaim diri megah tanpa tanding. Pencerah-pencerah besar rasanya juga tidak bergelimang hidup glamour, kan?

Keempat, manusia diberikan potensi G-Spot yang menjadi api mental untuk menyerap makna-makna terdalam tentang hakikat hidup. Potensi yang membutuhkan olah diri dan laku dalam dunia sehari-hari dengan konsistensi tingkat tinggi plus bimbingan yang tepat bukan untuk menjadi manusia tenggelam dalam lautan puja puji diri, rasanya. Akan tetapi, menurut saya, agar lebih bermakna kepada sesama dan semesta dengan rangkaian aksi pengabdian yang, sekali lagi, menolak publikasi.  

Dus, jika ada bujuk rayu yang seolah-olah spiritualitas pada hidup manusia yang berulang kalah dan terlanjur dicecoki jalan instan, hadapilah dengan curiga!

Jika tidak maka yang pertama kali dibunuh oleh spiritualisme semu adalah kemanusiaan itu sendiri. Ini sama halnya, melecehkan kemuliaan Pencipta.

Udah dulu ya cocokloginya pagi ini. Selamat pagi, Sarung! 

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun