Tiba-tiba Prof Pebrianov menghubungi saya. Lewat percakapan inbox. Seminggu sebelum 8 Oktober.
Hei Manusia Udik, Nomad, dan Skeptik! Apa kesibukanmu sekarang? Bisa ke Gedung Smesco gak?
Gak bisa. Gak punya uang, gak punya nyali!Â
Halah, akting! Kenapa gak bisa datang? Gak bisa apa gak mau?
Gak bisa aja, Prooof. Eh, gak mau ding!
Kenapa?
Gak ada Vonny. Males.
Hadeh. Sekarang jawab yang benar. Gak pakai celana alasan. Oke?
Saya membayangkan konsep Kopdar Akbar yang gak dipusat. Kompasianival yang Non-Pusat.
Cam mana tuh?Â
Begini Prof.
Contoh aja nih. Cari lokasi di Kalimantan, Pilih salah satu saja, Tengah atau Selatan. Tapi ini membutuhkan kolaborasi yang sungguh dan butuh waktu. Katakan setahun atau dua tahun. Terutama untuk pengondisian di tingkat lokal. Misalnya, ada jejaring komunitas K'ers di Kalimantan yang sudah tersambung dalam beberapa ajang Kopdar terlebih dahulu. Harus ada uji materi solidaitas dan solidaritas dulu kan Prof. Iya gak?Â
Yaa, mereka sudah harus juga memiliki relasi dengan pemerintah daerah juga swasta. Supporting system harus dioperasiin juga.Tapi ini tidak cukup. Masyarakat lokal, misalnya Masyarakat Adat, juga didekati, sudah menjadi bagian dari kolaborasi offline komunitas K'ers itu. Sehingga nanti ada semacam persekutuan antara pemerintah, swasta, juga warga (plus komunitas K'ers). Ya biar gak kayak kumpul-kumpul politisi, pengusaha, dan artislah. Ini sudah menstrim.
Terus Prof?Â
Nah, warga lokal non K'ers itu bisa menjadi bagian dari pelaku acara. Mereka diberi ruang untuk mengekspresikan produk budaya, seperti benda-benda atau kuliner lokal. Termasuk juga tarian-tarian atau pakaian adat. Kalau ada yang hendak mementaskan dongeng-dongeng suku yang hampir punah, boleh juga.Â
Intinya Prof?
Ya, acara Kopdar Kompasianival juga merangkul masyarakat di pinggiran sebagai bagian inti dalam perjamuan silaturahmi itu. Sehingga dengan begitu, kolaborasinya menjadi sejajar: swasta, pemerintah, grup Kompas (media), dan warga. Ini pesan pentingnya: bersama dan berbagi!
Lokasinya juga tidak mesti di gedung megah. Rancangan interiornya juga tidak perlu seperti ajang penerimaan musik, dkk-nya itu. Bikin yang nuansa tradisional. Lokal.Â
Gak bisa sehari dong Prof?Â
Ya tidaklah.Â
Biayanya?
Halah, dihitunglah. Kalau gak ada yang mau, saya yang kerjakan RAB-nya. Eh, ...bentar coi, kok jadi saya yang jelaskan?
Sudah kewajiban Profesor begitu. Jangan protes. Sekalian promo sebagai Calon Admin 2222. Â
Heu heu heu
Lah, terus, dirimu?
Peserta dong. Dua bulan sebelum hajatan, saya pindah sementara pulau Jawa. Saya akan bujuk Guru Jati juga. Gak mudah lho mengajak King of..., ini misi serius. Cocok tak?
Eh, ini kan idemu, kok jadi begini ujungnya?
.......
Ji?Â
Ji?
(pesan akan dibaca kalau sudah online)
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI