Pada mulanya adalah percakapan lewat inbox.Â
Saat itu, Bang Thamrin Sonata (TS) meminta saya memberikan komentar untuk sebuah kumpulan Flash Fiction. Kaget, tiada menyangka, setengah percaya. Alhamdulillah, saya masih berdiri stabil dan tidak harus dibantu pegangan tangan Maudy Ayunda. #YangSirikituUrusanmu!Â
Sejujurnya, ini pertama kali saya diminta pendapat ringkasnya atas sebuah karya. Dan kedua, saya merasa bukan orang yang tepat. Sedangkan ketiga, sangat bisa jadi komentar dari S Aji hanya akan merusak "nilai puitika" atau juga "nilai ekonomi" karya tersebut. Alasan paling mendasar lain yang terpikirkan saat itu juga adalah saya bukan yang memahami plus terampil dalam tema Flash Fiction, genre yang baru saya coba akrabi sekitar setahun terakhir. Itu pun dikarenakan nekad ikut event dari teman-teman Rumah Pena Inspirasi atau familiar dengan Rumpies The Club (RTC). Kemudian ketika mendapat kiriman buku Matinya Burung-burung: Kumpulan Cerita Sangat Pendek Amerika Latin, juga dari teman-teman RTC, dimana karya Octavio Paz dan Gabriel Garcia Marquez juga dimasukkan, saya makin penasaran dan mencoba memahaminya secara otodidak.Â
Jadi, saya memang awam lahir batin dengan genre yang satu ini. Genre yang disebut sebagai "pemberontakan narasi ala postmodern" yang katanya suka bermain-main dengan bahasa, tidak tertarik pada ide sentral yang harus jelas dalam cerita, dan tidak suka membebani bahasa dengan petunjuk moral dan sejenisnya.Â
Yang membuat saya jatuh hati pada genre ini bukan karena perdebatan filosofis yang bikin eneg itu. Saya tertarik karena "strategi narasi" yang dituntutnya dan efek "menggantung" yang diidap pembaca. Dua kondisi yang bikin kecanduan dua arah, penyusun dan penikmatnya. Biasanya kalau sudah dua arah, maka tidak lagi bertepuk sebelah rasa. Ini yang bikin awet hubungan.Â
Jadi, sebagai pemula, saya tidak cukup bersetuju jika Flash Fiction adalah jenis berfiksi yang malas karena memang bikinnya susah. Atau dengan alasan karena efektifitas waktu dan daya dukung teknologi: pembaca sekarang gak suka tulisan panjang di layar gadget! Alasan efektifitas ini sama tidak relevan sebab genre satu ini memiliki akar-akar sejarah dan budaya yang sudah sangat lama dalam dunia sastra Amerika Latin. Ini yang juga dijelaskan oleh Rony Agustinus, si pengumpul kumpulan berjudul Matinya Burung-Burung di atas.
Buku kumpulan Flash Fiction yang dimintakan Bang TS kepada saya agar ikut memberi kesaksian singkat adalah buah kreatifitas Bang Ikhwanul Halim. Â Kumpulan yang diberikan judul Terdampar dan Cerita-cerita Lain (Peniti Media, 2016). Materi dari kumpulan ini bersumber dari publikasi-publikasi penulis di Kompasiana.
Dengan buku Terdampar saya kini memiliki tambahan gizi dalam menekuni model-model strategi narasi dalam Flash Fiction dari salah satu Fiksianer Jempolan di Kompasiana. Karena itu juga, sebagai yang ngasih komentar, saya justru merasa terlalu disanjung. Pemula kok berani-beraninya ngasih komentar atas karya, duh!
Namun jika boleh berkomentar, bagi saya semua cerita sangat pendek ini lihai sekali memindahkan imajinasi dan pesan dibalik cerita. Tema-temanya pun digarap dengan olah strategi diksi yang mulus dan, tentu saja menghentak. Ada kegetiran dan humor. Ada absurditas juga daya juang, pengkhianatan dan cinta. Kesadaran pembaca, dalam kesaksian saya, sesudah membaca kumpulan Terdampar ini, dibawa menyibak tabir pengalaman manusia yang seringkali terlihat berulang dan klise di mata lahiriah.
Kalau kata Kang Pepih di pengantar, untuk membaca karya ini butuh usaha keras dan cerdas. Kalau Prof Pebrianov yang ngasih pengantar, paling tak jauh-jauh, ia akan bilang butuh lepas celana (kategori) dengan sungguh-sungguh.
Pada Terdampar-nya Bang Ikhwanul Halim, saya hanya harus "menyerap benar segala kualitas yang dihamburkannya" sebanyak mungkin. Hanya ini yang bisa saya lakukan. Bukan mengomentari kekuatan dan kelemahan kumpulan Flash Fiction tersebut. Aku mah pemula fiksi atuh, bukan politisi karbitan, tahu diri!
Pada saat bersamaan, saya dan beberapa kawan juga sedang mengasuh Padepokan Puisi. Padepokan ini tidak berada di pusat yang berlimpah komunikasi dan sumber-sumber keuangan yang tak ada nomor serinya. Sebaliknya, padepokan ini bekerja di pinggiran, ia mengelola kehendak berkarya dari jiwa-jiwa yang percaya bahwa puisi atau susastra secara umum makin dibutuhkan pada era dimana politik menciptakan rasa sakit dan melanggengkan alpa manusia dimana-mana. Buku Terdampar dan Cerita-cerita Lain akan menjadi salah satu rekomendasi bacaan saya dan teman-teman dalam menekuni genre Flash Fiction sebagai pemula.
Ihwal kedua yang terjadi dan penting di saya adalah pengalaman yang tidak berurusan langsung dengan bergiat fiksi. Akan tetapi lebih sebagai pengertian yang makin bersemangat tentang perkawanan digital dan semangat berbagi. Semangat yang makin dibutuhkan untuk membangun persekutuan-persekutuan produktif online-offline dari para penulis belum bernama besar (non major label) yang dalam perseteruan budaya pop/massa vs budaya elit pernah dipandang suara picisan oleh yang kedua.
Jadi, sementara bisa dikatakan, pada barisan kedua (: pendukung selera dan budaya elit/ major label) itu sedang meruwat kuasanya atas selera dengan, tentu saja, membangun dukungan dari para kritikus garis depan, pengusaha penerbitan, juga panggung-panggung kebudayaan sebagai alat-alat kontrolnya. Dengan begitu mereka akan selalu menjadi "penentu selera dan parameter dalam menilai kepantasan sebuah proses kretaif di balik dan atas karya tertentu!".
Dalam bahasa Gramsci, yang menulis teori Hegemoni, mereka ini sedang melanggengkan blok historisnya dalam kontrol atas selera dan ukuran penilaian atas karya.
Ini politik kebudayaan namanya dan pada era generasi milenial, sedang dilawan!Â
Persekutuan-persekutuan produktif non major label ini tentu saja lahir dari interaksi yang hangat dan kesediaan untuk selalu berbagi-belajar pengetahuan dan karya fiksi. Selain itu, juga dalam dukungan nyata dan sungguh, selalu menciptakan ruang-ruang ekspresi milik sendiri atau berkolaborasi dengan institusi-institusi besar yang memiliki wilayah pengaruh luas. Dengan begitu, pertama, persekutuan non major label ini memperjuangkan "hak untuk bersuara", dan kedua, menunjukkan solidaritas atas kreativitas dan karya warga biasa yang sungguh-sungguh.
Saya kira inilah spirit yang seharusnya selalu hidup menyala-nyala dalam etik sharing and connecting Kompasiana. Separah apa pun error berulang meruwat kecewa dan kesal Sodara-sodariii. Â Percayalah Kang Pepih dan para Admins, K'ers mencintai Kompasiana lebih dari yang kau tahu.
Selamat berkumpul, berbagi dan berbahagia di Kompasianival besok hari. Jangan lupakan kami yang bergulat ketimpangan diantara sungai dan hutan!Â
Salam.
*** Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H