Pada saat bersamaan, saya dan beberapa kawan juga sedang mengasuh Padepokan Puisi. Padepokan ini tidak berada di pusat yang berlimpah komunikasi dan sumber-sumber keuangan yang tak ada nomor serinya. Sebaliknya, padepokan ini bekerja di pinggiran, ia mengelola kehendak berkarya dari jiwa-jiwa yang percaya bahwa puisi atau susastra secara umum makin dibutuhkan pada era dimana politik menciptakan rasa sakit dan melanggengkan alpa manusia dimana-mana. Buku Terdampar dan Cerita-cerita Lain akan menjadi salah satu rekomendasi bacaan saya dan teman-teman dalam menekuni genre Flash Fiction sebagai pemula.
Ihwal kedua yang terjadi dan penting di saya adalah pengalaman yang tidak berurusan langsung dengan bergiat fiksi. Akan tetapi lebih sebagai pengertian yang makin bersemangat tentang perkawanan digital dan semangat berbagi. Semangat yang makin dibutuhkan untuk membangun persekutuan-persekutuan produktif online-offline dari para penulis belum bernama besar (non major label) yang dalam perseteruan budaya pop/massa vs budaya elit pernah dipandang suara picisan oleh yang kedua.
Jadi, sementara bisa dikatakan, pada barisan kedua (: pendukung selera dan budaya elit/ major label) itu sedang meruwat kuasanya atas selera dengan, tentu saja, membangun dukungan dari para kritikus garis depan, pengusaha penerbitan, juga panggung-panggung kebudayaan sebagai alat-alat kontrolnya. Dengan begitu mereka akan selalu menjadi "penentu selera dan parameter dalam menilai kepantasan sebuah proses kretaif di balik dan atas karya tertentu!".
Dalam bahasa Gramsci, yang menulis teori Hegemoni, mereka ini sedang melanggengkan blok historisnya dalam kontrol atas selera dan ukuran penilaian atas karya.
Ini politik kebudayaan namanya dan pada era generasi milenial, sedang dilawan!Â
Persekutuan-persekutuan produktif non major label ini tentu saja lahir dari interaksi yang hangat dan kesediaan untuk selalu berbagi-belajar pengetahuan dan karya fiksi. Selain itu, juga dalam dukungan nyata dan sungguh, selalu menciptakan ruang-ruang ekspresi milik sendiri atau berkolaborasi dengan institusi-institusi besar yang memiliki wilayah pengaruh luas. Dengan begitu, pertama, persekutuan non major label ini memperjuangkan "hak untuk bersuara", dan kedua, menunjukkan solidaritas atas kreativitas dan karya warga biasa yang sungguh-sungguh.
Saya kira inilah spirit yang seharusnya selalu hidup menyala-nyala dalam etik sharing and connecting Kompasiana. Separah apa pun error berulang meruwat kecewa dan kesal Sodara-sodariii. Â Percayalah Kang Pepih dan para Admins, K'ers mencintai Kompasiana lebih dari yang kau tahu.
Selamat berkumpul, berbagi dan berbahagia di Kompasianival besok hari. Jangan lupakan kami yang bergulat ketimpangan diantara sungai dan hutan!Â
Salam.
*** Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H