Belum lama berselang, politik Indonesia kontemporer pernah ramai gegara rencana pergantian komandan tertinggi polisi. Tarik menarik kepentingan politiknya begitu kental memenuhi atmosfir percakapan publik. Daulat presiden yang dipilih secara langsung bahkan harus dipertaruhkan, apakah ia akan menuruti protes publik yang makin keras atau sebaliknya melayani tekanan partai politik pengusungnya.
Fenomena adanya geng, gerbong, kartel, oligark atau blok politik (core elite’s) di tubuh negara yang secara aktif terlibat mengatur pembagian kekuasaan bukanlah ihwal yang baru, kalau bukan malah merupakan bagian inti dari perebutan kekuasaan dan “nilai yang mengikat konsensus” politik; energi yang menghidupi, seperti Cinta yang menanti Rangga berpuluh tahun lama.
Tidak penting negara demokrasi tinggi atau menengah, praktik sedemikian sudah menjadi hukum dasar tidak tertulis. Atau juga, bisa dikatakan, aturan main yang bekerja di balik hiruk pikuk polemik dan pemberitaan. Karena itu, di depan polemik politik, sebaiknya jangan lekas bermutasi dari Homo Sapiens menjadi Homo Komentaris.
Gejala di atas sudah lama ditelanjangi oleh pendapat yang mengatakan jika negara hanyalah alat bagi kelas-kelas yang berkuasa. Boro-boro melayani semua warga, Tuhan saja tidak! Dan di tangan kelas-kelas berkuasa itu, selalu ada siasat untuk menjaga keberlangsungan dominasi mereka (= reproduksi kelas). Sebab pada tubuh negara, kewenangan mengelola sumberdaya ekonomi dan politik begitu besarnya. Pendapat yang demikian mengacu pada perspektif negara instrumentalis.
Sudah ngeh kan mengapa mantan presiden masih suka main politik dengan mendorong anak-anaknya mengambil posisi strategis?
Tapi sudahlah.
Kita abaikan mantan-mantan yang masih sibuk terlibat ngurusi hidup hari ini. Mari kita bicarakan saja sesuatu yang menghibur namun sekaligus memberi sedikit pendidikan politik. Jadi mari kita menyimak film ketimbang menunggu partai politik itu sadar dan bertobat.
Belum lama ini ada sebuah film yang diproduksi oleh sineas Logman Leong dan Sunny Luk (Mandarin) yang berusaha menunjukkan bagaimana pertarungan blok politik dalam merebut alat-alat negara. Alat negara yang direbut itu adalah kendali politik atas lembaga kepolisian.
Film itu berjudul Cold War II. Film yang melanjutkan kisah sebelumnya, Cold War (2013) yang konon pernah terlaris di tahun itu.
Cold War II –selanjutnya akan ditulis CW 2 saja—dirilis pada 8 Juli 2016. Beberapa nama top yang terlibat dalam film ini adalah Aaron Kwok (Komisaris Sean Lau), Tony Leung Ka- Fai (M.B Lee), Chow Yun-fat (Oswald Kan Ngo-wai), serta actor muda Eddie Peng (Joe Lee) yang CV main filmnya makin banyak.
Singkat Cerita
Istri komisaris Sean Lau diculik oleh geng yang meminta negoisasi pembebasan Joe Lee, kriminal muda yang nekad. Para penyandera meminta Lau harus membawa sendiri Lee untuk ditukarkan. Lee adalah anak M.B Lee, perwira polisi senior yang sebentar lagi pensiun.
Istri Lau bisa diselamatkan namun Lee berhasil diloloskan. Kedudukan 1:1.
Walhasil, aksi Lau itu disoroti oleh media. Tak cukup media, politisi pun bergerak untuk meminta dengar pendapat. Geng yang menggerakkan rencana dengar pendapat ini dikendalikan seorang pensiunan komisaris, mantan atasan Lau, yang juga menjadi Godfather. Orang yang juga menjadikan Lee sebagai pion.
Pada intinya, aksi pelolosan Lee juga dengar pendapat itu skenario sepaket. Di lapangan, Lee dibantu oleh beberapa eks loyalis ayahnya, beroperasi untuk menimbulkan instabilitas hukum juga menganggu social order. Klimaksnya jelas, delegitimasi terhadap kepemimpinan Lau. Sementara para politisi itu beroperasi untuk mengesahkan delegitimasi jalanan menjadi keputusan politik formil. M.B Lee yang sudah menuju pensiun dipersiapkan menjadi komisaris.
Tegas kata, Lau terancam dikudeta. Aroma itu makin kental dengan suksesnya infiltrasi geng ini pada beberapa petinggi kepolisian yang memiliki kuasa memundurkannya.
Tentu saja Lau tidak diam saja. Ini film bersemangat hero-heroan kok!
Lau melawan. Ia membentuk shadow team yang bekerja dibawah kendalinya langsung. Tim yang melalukan pengintaian pada aktivitas M.B Lee, anaknya, juga loyalisnya. Saat bersamaan, Oswald sang senator, juga memiliki logika berpikir yang sama dengan Lau: ada master mind dalam aksi pelolosan Lee.
Jadi ini persoalan politik, persisnya pertarungan politik.
Oswald sejatinya tidak terlalu respek dengan pendekatan tangan besi Lau terhadap kejahatan gangster. Namun karena membaca kuatnya aroma politis, ia menjadi berpihak pada Lau. Keduanya, tentu saja, merancang serangan balasan.
Endingnya masih happy-lah. Kebaikan masih menang terhadap kejahatan. Good Cop masih pemilik takdir mengendalikan tertib sosial kota Hongkong, salah satu satelit penting pertumbuhan kapitalisme asia.
Klise?
Ya iya. Film berdurasi 110 menit memang bersemangat jagoan masih orang baik-baik. Lantas apa yang bisa dicocok-cocoki dengan sejarah politik kekiniaan kita?
Tiga Pola Operasi
Ini yang bisa dipelajari. Barangkali tidak penting tapi perlu seperti slogan kanal berita di facebook bermerek PepNews. Tiga indikasi yang perlu diperhatikan dalam menyimak perebutan kekuasaan yang menyembunyikan “kotor permainannya” di balik gaduh polemik. Jadi tidak melulu soal pergantian pucuk pimpinan polisi atau panglima TNI.
Pola operasi seperti ini juga dipakai pada banyak konteks perebutan sumberdaya ekonomi dan politik dalam tubuh negara.
Pertama, selalu ada operasi atau skenario untuk menciptakan delegitimasi atas satu kepemimpinan yang sah. Delegitimasi itu dengan menciptakan instabilitas secara kasar dan kasat mata, seperti kehadiran kriminal yang tangguh dan menimbulkan terror dimana-mana.
Atau, kamu bisa masukkan demonstrasi yang seolah tak pernah lelah dan di-blow up pemberitaan tanpa iklan. Atau mendesain operasi yang lebih mengerikan, seperti kerusuhan dan perang sipil.
Sejarah perebutan kekuasaan di negeri kita sudah mengalami adu metode yang seperti di atas ini.
Kedua, tentu saja di dalam institusi yang menjadi target perebutan itu sudah terpenuhi syarat-syarat untuk implosi (ledakan di dalam). Kondisi meledak di dalam ini akan membuat institusi itu berhenti berfungsi dan menjadi sasaran dari kemarahan masyarakat yang cemas dihajar instabilitas. Ujungnya tentu saja, kebijakan memotong pucuk pimpinannya.
Secara teoritis, kalau kita membaca tesis Erick Hiariej yang berjudul Materialisme Sejarah Kejatuhan Soeharto (IRE Press, 2005), ia menunjukkan “kondisi-kondisi material” yang menyebabkan jatuhnya negara orde baru. Erick Hiariej menunjukkan ledakan di dalam tubuh negara dengan menggunakan terma kontradiksi-kontradiksi modal dan birokrat.
Ketiga, bangun konsensus atau disensus politisi. Ini factor yang juga penting menentukan kearah mana perebutan itu akan berujung. Dalam CW 2, jika saja konsensus terbangun baik antara Oswald dan Lee+mantan Komisaris—artinya sharing kekuasaannya dipandang cukup mewakili—maka Lau dipastikan terjungkal. Yang sebaliknyalah yang terjadi: disensus, Oswald lebih memilih bersekutu dengan Lau yang secara formil masih powerful.
Dalam sejarah politik nasional kita, perkara konsensus dan disensus ini merupakan salah satu motor yang mendorong perubahan. Terlebih sesudah Suharto berakhir, kekuatan-kekuatan politik tidak lagi monopolisitik. Konsensus harus banyak dilakukan demi mencapai puncak kekuasaan bahkan dengan cara mengkhianati konsensus sebelumnya seperti yang terjadi pada poros itu tuh…
Di CW 2, kita bisa melihat tiga pola operasi dalam perebutan kekuasaan dengan sasaran antaranya adalah kepolisian kota Hongkong.
Nah, jika nanti muncul lagi kondisi-kondisi yang mengggambarkan kentalnya aroma perebutan kekuasan, “tiga ke-awas-an” di atas bisa digunakan tanpa harus menyebutkan sumbernya. Wong saya juga ngutip kok!
Kalau pun tidak bisa digunakan, ya sudah, terimakasih dan hormat yang tinggi kepada Anda sekalian. Sudah sudi buang-buang waktu membaca ini.
Salam jelang sore saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H