Dua sore kemarin, ide mentok. Imajinasi lenyap. Saya jengah.Â
Ini kode tubuh bahwa saya harus jeda, rehat. Kalau terus saya paksakan, pasti akan buang-buang waktu. Karena kondisi mentok masih sering menerpa, maka saya selalu hormat pada mereka yang bisa setiap hari menulis, apa pun topik dan kanalnya, dengan konsentrasi yang dijaga. Dengan kata-kata yang tetap memiliki ciri khasnya. *sungkem*
Salah satu cara untuk jeda adalah dengan merilekskan diri lahir dan batin. Kalau tidak ada yang dikerjakan--biasanya sih saya membuatnya tidak ada--salah satu opsi yang akan saya tempuh adalah nonton pilem hasil download atau membaca. Intinya agar imajinasi saya dipindahruangkan. Kalau pun gagal, hal yang terakhir saya harapkan tercipta adalah ngantuk.Â
Malam harinya, saya memilih menikmati The Duel. Film produksi 2016 yang berlatar negeri Paman Sam tahun 1846.
Belum lagi setengah jalan, handphone ASUS memancarkan kedip merah dari akun twitter. Setelah saya periksa, ada tautan link yang dibagikan oleh Mas Joko P. Sebuah flash fiction yang juga diikutsertakan dalam event Romansa September. Jumlah kata-katanya "hanya 285" dengan judul Después de Ti (Seusai Kau).
Saya mengunjunginya dan seketika larut dalam strategi narasinya. Paling kurang ada tiga kondisi yang sukses melarutkan.
Pertama, dengan penggunaan kata yang hemat, Adji berhasil digambarkan sedang dalam suasana emosi tiada berdaya. Ia terhipnotis habis oleh pesona Inma, penari yang tentu saja molek dan seksi (Spanyola girl, coi!). Adji menjadi terus rapuh berhadapan dengan Inma yang justru "agresif" dengan pertanyaan: Kau sendirian saja? Kita bisa jalan bareng? Kok gak ngomong siih? Ditambah udara malam dalam kafe yang gerah, sempurnalah rasa sesak itu. Adji mengalami konflik batin serius.
Kedua, suasana emosional makin diperdalam dengan memilih lagu Alejandro Sanz. Misalnya pada lirik, bawalah aku jika kau ingin tersesat tanpa alasan (duuh..). Lirik yang kemudian menemukan kesempurnaan suasana emosional: seusai badai , tenang akan selalu datang tapi seusai kau.. seusai kau adalah..ketidaan. Adji selesai di depan Inma, Alejandro Sanz membantu meremuknya!
Akan tetapi, kondisi ini belum maksimal untuk menciptakan klimaks yang menghentak badai. Ada kondisi ketiga yang diciptakan untuk memuncakkan emosi.
Penulisnya, yang juga pemuja Teresa Teng golongan keras hati dan sampai akhir waktu ini, membawa pembaca pada situasi konflik diri yang makin meremuk tokoh Adji.Â
Adji ternyata memiliki Sri yang sedang bersesak ria di metro mini dari arah Kampung Melayu, Jakarta. Adji yang tengah remuk dihantam pesona Inma lantas menelpon Sri tanpa banyak kata terucap: Aku Sayang Kamu Sri, dengan suara parau. Suara lelaki yang boleh dicurigai sedang rindu berat sekaligus merasa berdosa.Â
Saya coba men-take over posisi Adji dalam cerita.Â
Kesimpulan saya, betapa nelangsanya kau, Adji--dengan d diantara a dan j. Kau seperti aku yang remuk dan hilang bentuk dalam pengembaraan di negeri asing dalam puisi Kepada Pemilik Teguh, Chairil Anwar. Remuk dan tiada berbentuk yang hanya menemukan jalan ketenangan di depan pintu kasih Pencipta.Â
Dari sini, saya mencoba membaca pesan tersirat lain yang seharusnya saya masuki. Pesan itu adalah melihat "nilai manusia" dibalik emosinya.Â
Nilai manusia yang saya lihat itu adalah: pada Adji, Sri dan Inma, saya melihat romantika cinta manusia yang tidak pernah benar-benar selesai dengan dirinya. Manusia akan selalu diuji oleh pengalaman romantika yang jungkir balik antara kesetiaan dan pengkhianatan. Bertahan menjaga janji hatinya atau menggadaikan itu di perantauan yang jauh dan asing. Dalam padanya, hidup menjadi apa yang dijumpai secara langsung, yang faktual, yang hadir di depan mata (di sini dan kini).Â
Ideal nilai yang dipegang manusia justru memiliki makna dalam pertemuan yang di sini dan kini.
Dalam bahasa yang lebih lengkap, manusia bukanlah sosok, makhluk, kehadiran tubuh-jiwa, kesadaran, atau apa pun namanya, yang sudah tetap, konstan dan penuh. Bukan semata bahwa manusia harus mengalami proses namun juga selalu ada ketakpastian dan ketakterdugaan, pasang dan surut, serta jatuh bangun yang menyertai perjalanannya "menjadi manusia". Ada "etik kedhaifan"--dalam bahasa Goenawan Mohamad--yang mesti dikelola secara kreatif.
Kemuliaan akan dimiliki mereka yang berjuang menjaga kesetiaan janji hatinya dalam rentetan peristiwa faktual.  Ia juga merupakan ideal dalam hubungan yang dengan itu juga manusia mencegah dirinya jatuh pada rasa sakit dan menyakiti. Jatuh menjadi makhluk sub-human yang melayani gairah rendah. Sebuah kondisi yang barangkali bisa kita sebut sebagai kejatuhan pada id dan membunuh super ego dalam pengertian Freudian.
Dan saya kira pengalaman diuji seperti ini lebih sering menolak muncul dan bersaksi dengan gemuruh decak kagum di televisi. Ia rasanya lebih memilih sunyi sebagai teman berproses dan orang-orang terkasih sebagai saksinya. #Upps,MlipirKeDramaMotivator
Di penghujung catatan ini, saya justru merasa segar dan jengah itu musnah. Itu artinya, flash fiction ini tidak dikerjakan dengan selera dan teknik tutur romantika yang biasa-biasa saja. Sungguh penikmat tembang Teresa Teng bukan sosok-sosok biasa. Selain Mas yang saya coba pahami cerpennya, ada juga Bang Armand dan Bang Ikhwanul yang segaris keras. Tipe die hard!
Sudah minggu dinihari, selamat beristirahat. Saya juga perlu sungguh istirahat mengutak-atik kata di kanal fiksi. Â
***
*). Catatan ini semata ditulis untuk melayani keterpukauan saya. Saya harus menuliskannya saat ini juga sebab bila tidak, emosi dari cerita ini hanya akan berakhir di pagi hari yang lupa sebab berjibaku dengan peristiwa harian. Semoga tindakan menulis ini bukan pelanggaran etis di tengah event Romansa September Rumpies the Club.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H