Saya coba men-take over posisi Adji dalam cerita.Â
Kesimpulan saya, betapa nelangsanya kau, Adji--dengan d diantara a dan j. Kau seperti aku yang remuk dan hilang bentuk dalam pengembaraan di negeri asing dalam puisi Kepada Pemilik Teguh, Chairil Anwar. Remuk dan tiada berbentuk yang hanya menemukan jalan ketenangan di depan pintu kasih Pencipta.Â
Dari sini, saya mencoba membaca pesan tersirat lain yang seharusnya saya masuki. Pesan itu adalah melihat "nilai manusia" dibalik emosinya.Â
Nilai manusia yang saya lihat itu adalah: pada Adji, Sri dan Inma, saya melihat romantika cinta manusia yang tidak pernah benar-benar selesai dengan dirinya. Manusia akan selalu diuji oleh pengalaman romantika yang jungkir balik antara kesetiaan dan pengkhianatan. Bertahan menjaga janji hatinya atau menggadaikan itu di perantauan yang jauh dan asing. Dalam padanya, hidup menjadi apa yang dijumpai secara langsung, yang faktual, yang hadir di depan mata (di sini dan kini).Â
Ideal nilai yang dipegang manusia justru memiliki makna dalam pertemuan yang di sini dan kini.
Dalam bahasa yang lebih lengkap, manusia bukanlah sosok, makhluk, kehadiran tubuh-jiwa, kesadaran, atau apa pun namanya, yang sudah tetap, konstan dan penuh. Bukan semata bahwa manusia harus mengalami proses namun juga selalu ada ketakpastian dan ketakterdugaan, pasang dan surut, serta jatuh bangun yang menyertai perjalanannya "menjadi manusia". Ada "etik kedhaifan"--dalam bahasa Goenawan Mohamad--yang mesti dikelola secara kreatif.
Kemuliaan akan dimiliki mereka yang berjuang menjaga kesetiaan janji hatinya dalam rentetan peristiwa faktual.  Ia juga merupakan ideal dalam hubungan yang dengan itu juga manusia mencegah dirinya jatuh pada rasa sakit dan menyakiti. Jatuh menjadi makhluk sub-human yang melayani gairah rendah. Sebuah kondisi yang barangkali bisa kita sebut sebagai kejatuhan pada id dan membunuh super ego dalam pengertian Freudian.
Dan saya kira pengalaman diuji seperti ini lebih sering menolak muncul dan bersaksi dengan gemuruh decak kagum di televisi. Ia rasanya lebih memilih sunyi sebagai teman berproses dan orang-orang terkasih sebagai saksinya. #Upps,MlipirKeDramaMotivator
Di penghujung catatan ini, saya justru merasa segar dan jengah itu musnah. Itu artinya, flash fiction ini tidak dikerjakan dengan selera dan teknik tutur romantika yang biasa-biasa saja. Sungguh penikmat tembang Teresa Teng bukan sosok-sosok biasa. Selain Mas yang saya coba pahami cerpennya, ada juga Bang Armand dan Bang Ikhwanul yang segaris keras. Tipe die hard!
Sudah minggu dinihari, selamat beristirahat. Saya juga perlu sungguh istirahat mengutak-atik kata di kanal fiksi. Â
***