“Waduuh, celaka bro!”
“Kenapa? Tak salah alamatkan?”
Josh terengah, nafas belum mendarat sepenuhnya.
Seolah baru dikejar mayor kumpeni yang naik pitam karena istri bulenya dibikin gundik. Sementara aku disergap cemas laksana politisi yang setiap pagi ceramah agama kemudian ketangkap sedang mesum dengan penghibur berbayar mahal yang juga adalah host di ceramah pagi itu.
“Alamatnya benar. Sudah persis dengan yang diberikan Steven.”
“Terus yang membuat kamu berlari lebih lekas dari maling begini, apa?”
“Di depan rumahnya kini ramai nyiur, dari pagar sampai kamar tidur,” terang Josh. Lalu diam, menatapku. Ia tahu, amuk luka sedang menunggu masa pecah di sana.
“Maksudmu apa Josh? Apa?”
Tetap diam. Untuk apa menjelaskan kenyataan yang hanya akan menanahkan duka?
***
Sebulan yang lalu.