“Kau hanya akan menggali putus asa, Bro!”
Josh, sahabatku yang bertahan selain Steven, jauh-jauh purnama sudah berpesan begitu. Tapi aku memang jenis keras hati. Jatuh cintalah yang meruwatnya bertahun lama. Cinta kini telah menjadi dogma, ia lebih pejal dari batu di kepalaku. Dasar manusia batu, Steven pernah bilang begitu. Tapi, siapa yang sedang jatuh cinta lantas mudah disadarkan agar menyudahi siksa panas dinginnya?
“Stev, benar kamu tahu alamatnya yang sekarang?” tanyaku, dengan emosi bergemuruh. Aku memang pemendam rindu yang tangguh.
Steven menunjukkan secarik kertas. Tertera nama jalan.
Sejak tahu alamat itu, sejak tahu kepulangannya sesudah 15 belas tahun entah dimana. Sejak tahu ia kini jiwa yang sia-sia, menikahi gairah celaka, pemabuk dan berbini lebih dari tiga. Jiwa yang pulang dengan derita, aku menghangatkan lagi beku rindu yang telah melatihku sebagai zombie.
Aku memilih surat, Josh yang membawanya. Isinya pendek saja.
15 tahun aku merindumu,Teresa.
Bisakah kita bertemu?
Josh yang kemudian kembali dengan nafas terengah, ditampar hiasan nyiur yang memenuhi pekarangan rumah Teresa. Josh tahu, semarak nyiur adalah gugur bunga kamboja di tanah gersang rinduku yang bertahun menolak menjadi sepi pemakaman.
Satu yang Josh tak terus terang hari itu. Perempuan yang menjadi pusat rinduku bertahun lama pulang untuk menikahi derita yang sama: bersuami celaka yang gemar bergundik lebih buruk dari tuan kumpeni.
Josh telah membawa pesan malaikat maut yang tiada ia sadari. Sama seperti Steven, andai ia tak pernah bilang alamat itu.
Sebentar lagi, revolver ini segera membawaku bersamanya ke ujung yang bertahun-tahun kulawan sebagai zombie: sepi tanah pemakaman.