Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Rindu] Sepi Pemakaman

8 September 2016   19:05 Diperbarui: 8 September 2016   19:11 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Waduuh, celaka bro!”

“Kenapa? Tak salah alamatkan?”

Josh terengah, nafas belum mendarat sepenuhnya.

Seolah baru dikejar mayor kumpeni yang naik pitam karena istri bulenya dibikin gundik. Sementara aku disergap cemas laksana politisi yang setiap pagi ceramah agama kemudian ketangkap sedang mesum dengan penghibur berbayar mahal yang juga adalah host di ceramah pagi itu.

“Alamatnya benar. Sudah persis dengan yang diberikan Steven.”

“Terus yang membuat kamu berlari lebih lekas dari maling begini, apa?”

“Di depan rumahnya kini ramai nyiur, dari pagar sampai kamar tidur,” terang Josh. Lalu diam,  menatapku. Ia tahu, amuk luka sedang menunggu masa pecah di sana.

“Maksudmu apa Josh? Apa?”

Tetap diam. Untuk apa menjelaskan kenyataan yang hanya akan menanahkan duka?

***

Sebulan yang lalu.

“Kau hanya akan menggali putus asa, Bro!”

Josh, sahabatku yang bertahan selain Steven, jauh-jauh purnama sudah berpesan begitu. Tapi aku memang jenis keras hati. Jatuh cintalah yang meruwatnya bertahun lama. Cinta kini telah menjadi dogma, ia lebih pejal dari batu di kepalaku. Dasar manusia batu, Steven pernah bilang begitu. Tapi, siapa yang sedang jatuh cinta lantas mudah disadarkan agar menyudahi siksa panas dinginnya?

“Stev, benar kamu tahu alamatnya yang sekarang?” tanyaku, dengan emosi bergemuruh. Aku memang pemendam rindu yang tangguh.

Steven menunjukkan secarik kertas. Tertera nama jalan.

Sejak tahu alamat itu, sejak tahu kepulangannya sesudah 15 belas tahun entah dimana. Sejak tahu ia kini jiwa yang sia-sia, menikahi gairah celaka, pemabuk dan berbini lebih dari tiga. Jiwa yang pulang dengan derita, aku menghangatkan lagi beku rindu yang telah melatihku sebagai zombie.

Aku memilih surat, Josh yang membawanya. Isinya pendek saja.

15 tahun aku merindumu,Teresa.
Bisakah kita bertemu?

Josh yang kemudian kembali dengan nafas terengah, ditampar hiasan nyiur yang memenuhi pekarangan rumah Teresa. Josh tahu, semarak nyiur adalah gugur bunga kamboja di tanah gersang rinduku yang bertahun menolak menjadi sepi pemakaman.

Satu yang Josh tak terus terang hari itu. Perempuan yang menjadi pusat rinduku bertahun lama pulang untuk menikahi derita yang sama: bersuami celaka yang gemar bergundik lebih buruk dari  tuan kumpeni.

Josh telah membawa pesan malaikat maut yang tiada ia sadari. Sama seperti Steven, andai ia tak pernah bilang alamat itu.

Sebentar lagi, revolver ini segera membawaku bersamanya ke ujung yang bertahun-tahun kulawan sebagai zombie: sepi tanah pemakaman.

Bunga yang indah tak sering mekar. Begitupula cinta yang suci*). Hanya kata-kata ini yang boleh terukir di nisan kami.

***

*) Lirik dalam lagu Teresa Teng, Cinta Suci. Ditonton ya video klipnya, biar tahu sendunya. Abadilah Teresa Teng. 

Bolang
Bolang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun