Kembang kampung itu bernama Mika. Sudah selesai kuliah tapi tidak mau bekerja. Mika memilih merawat tubuhnya di rumah.Â
"Untuk apa kerja kalau duitnya juga habis buat belanja saja. Mending habisin duit orang," protes Mika pada ibunya.Â
Ya sudah, karena ia anak satu-satunya, maka ibu dan ayahnya membiarkan saja keputusan itu tanpa banyak berdebat Mika lebih banyak mewarisi sifat dan kelakuan siapa. Â Yang mereka tidak tahu, Mika sudah tumbuh dalam keyakinan diri bahwa ia adalah kembang kampung. Maksudnya tunggu dilamar saja.
Hanya satu semester diam di rumah, lelaki-lelaki baru bekerja pun sudah mendekati pensiun, dari yang rambutnya masih tebal pomade keluaran terbaru dan yang sudah meranggas licin, bergiliran datang ke rumah. Ada yang datang bawa inova sendiri, meminjam motor butut milik kakaknya, sampai yang naik ojek online hingga membawa ontel dan jalan kaki. Tak ada satu yang membuat Mika mengambil keputusan. Tak jarang para pengantar hati dan niat itu justru ditemani ibu atau bapaknya.
"Apa-apaan Mika ini. Bikin capek orang rumah saja."
Bapaknya tiba di ujung kesal. Ibunya diam saja. Ibu harus selalu sabar dan menenangkan, seperti ajaran lama bukan?
"Persis kayak dulu mau melamar kaa..."
"Apa?" potong ibunya lekas. Sikap tenangnya berubah juga.
Gantian ayahnya yang sekarang diam. Sesungguhnya air tenang yang mendidih itu berbahaya juga, batin ayah Mika. Sama dengan ibunya, mengacu pada ajaran lama.
"Disayembarakan saja jodohnya. Gimana Pa?"
"Ini jaman sudah era si Boy, bawa motor, nge-geng, dan tawuran. Masa iya disayembarakan? Lagi pula kita bukan paduka raja dan permaisurinya."