Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Merawat Kerukunan dalam Dunia yang Dilipat

28 Agustus 2016   23:33 Diperbarui: 29 Agustus 2016   13:00 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi manusia digital adalah menjadi manusia yang terlibat dalam dunia yang dilipat.

Yakni sejenis dunia di mana kecepatan produksi-konsumsi-reproduksi informasi bergerak begitu cepat melintasi batas-batas geografi. Kecepatan informasi yang membuat kesadaran manusia sibuk setiap detik. Selain itu, dunia yang dilipat juga menandakan kekuatan simulasi citra-citra yang ketika ia mencapai kepalsuan yang sempurna, ia menjadi hiper-realitas. Di saat bersamaan, dunia yang dilipat adalah semesta yang sudah tanpa ideologi dan kebenaran tunggal. Ideologi dan kebenaran tunggal yang menjadi aparatus sensorik hingga ke kamar tidur.

Pada dunia yang seperti ini, secara negatif, kesadaran manusia mudah menjadi nomad-nomad digital. Ia mudah berpindah-pindah kanal semudah pergerakan jari jempol pada layar gadget. Ia dirangsang untuk selalu aktif terlibat dalam keramaian virtual. Ia juga selalu didesak bertindak tanpa memahami secara utuh; lekas menjadi latah dan reaksioner. Bahkan dalam skala tertentu, sikap latah dan reaksioner itu diterima sebagai sesuatu yang banal.

Namun secara positif, dunia yang seperti ini adalah dunia yang berlimpah dengan informasi yang bisa diperoleh secara gratis tanpa harus selalu berhubungan dengan sistem-sistem ahli (expert system). Dunia yang dilipat juga memudahkan manusia saling bersimpati dan bergerak secara langsung walau tidak terikat dalam lokus geografi yang sama. Karena itu ada yang mengatakan jika internet adalah the great equalizer: membantu manusia setara secara pengetahuan.

Manusia digital mengada dalam pilihan menjadi nomad yang latah, gaduh dan terprovokasi dengan keramaian yang absurd atau sebaliknya, memanfaatkan digitalisme untuk mengembangkan sikap-sikap kritis dan kehendak berbagi yang merawat kebaikan hidup bersama. Ini artinya manusia sedang ditantang untuk selalu bersikap kritis sembari saat bersamaan mengembangkan nilai-nilai yang merawat kebaikan umum pada kehidupan yang majemuk dalam jagat sosial pun digitalisme atau sebaliknya.

Dua Strategi Berjalan: Online-Offline

Kita tahu bahwa membangun dan merawat kerukunan lintas iman dalam hidup bernegara-bangsa adalah problem peradaban dunia. Terutama ketika dihadapkan dengan persebaran pikiran dan keyakinan ekslusif (: meyakini sebagai satu-satunya pemilik kebenaran dan keselamatan) yang bersenyawa dengan pembenaran kekerasan sebagai cara mencapai tujuan. Persenyawaan yang kemudian melahirkan jejaring teror dengan kemampuan meledakkan dirinya dimana-mana.

Bumi manusia menjadi hidup dalam kecemasan global.

Pikiran dan keyakinan ekslusif juga memiliki kecenderungan "menolak sekularisasi dan produknya"--yang melahirkan negara bangsa dan globalisasi--dengan mengajukan klaim ideal peradaban dan masa depan sejarahnya sendiri. Karena itu, keyakinan dan turunan gerak ini selalu bisa eksis selama negara-bangsa dan globalisasi terus menjadi "produsen masalah" yang melahirkan perasaan tidak adil dan direndahkan sebagai golongan manusia.

Karena itu juga sebaiknya tidak diandaikan kesadaran yang tumbuh bersemarak dengan klaim ekslusifisme adalah jenis yang tumbuh dan bersemi pada zaman kuno lantas sedang memaksakan survive di era digital. Ekslusifisme dengan “politik gerak sentrifugal” yang melawan secara total adalah sesuatu yang fleksibel, selalu membarui metodenya dan memperluas sasaran pengaruhnya. Salah satu wujudnya adalah selain membangun jaringan kerja yang solid dan cenderung tertutup (klandenstein) di masyarakat, mereka juga memperluas ide-ide dan pengaruhnya ke ranah digital. Yang sosial dan digital dibuat menjadi sejalan dan saling memperkuat.

Dengan kata lain, dari perspektif kewargaan digital, untuk merawat visi dan aksi merawat kerukunan di era sosial media strategi yang dibutuhkan pun menjadi dua arah: online dan offline. Strategi dua arah yang sebenarnya sudah menampilkan dirinya di hiruk pikuk digitalisme dan menjadi narasi tandingan (counter narrative) terhadap radikalisme.

Pertama, pada arah offline, strategi ini sedang berusaha mendorong tumbuhnya kehendak bersama merawat kerukunan dan hidup harmoni yang tangguh melalui pelibatan diri dalam peristiwa atau pengalaman faktual. Yakni melalui interaksi antar sesama manusia dalam lingkungan hidup yang heterogen dan  juga dibentuk dalam perjumpaan-perjumpaan dengan masalah yang kongkrit.

Sedangkan, kedua,  pada arah online, di sosial media, strategi ini mendorong penyebaran pengalaman-pengalaman faktual yang menubuh secara individual pun komunal atau pun pengalaman ide berdialog dengan teks-teks keagamaan dalam bentuk ciutan, status, re-twitt status, catatan facebook, catatan di blog, foto-foto kegiatan warga, atau kiriman cerita orang lain yang dibagikan.

Singkat kata, sosial media atau digitalisme secara umum tengah menjadi arena kontestasi gagasan-gagasan kerukunan lintas iman berhadapan dengan gagasan-gagasan yang ekslusif. Dengan kata lain, ini adalah era perang pengaruh dimana negara tidak selalu bisa diandalkan. 

Empat Tindakan Warga

Pertanyaan berikutnya, secara praktis, bagaimana strategi dua arah ini diterapkan pada tingkat individual? Paling tidak ada empat pilihan yang bisa dilakukan.

Pertama, menyediakan pikiran bergaul dengan pikiran-pikiran yang menghargai dan merawat perbedaan lintas iman serta terus menganjurkan kerukunan. Ini bisa dilakukan dengan mengikuti informasi grup-grup online atau mengikuti akun-akun public figure yang selalu menyampaian pesan-pesan persaudaraan sebangsa secara konsisten.

Kedua, menyediakan pikiran untuk berdialog kesadaran dengan pesan-pesan persaudaraan dan perdamaian yang tidak selalu bersumber dari berita, apalagi yang jenis straight news, rendah kredibilitas dan sekedar menebar sensasi. Misalnya saja dengan mengikuti tulisan-tulisan dari warga biasa tentang pengalaman mengelola perbedaan dan persaudaraan atau mengonsumsi tulisan-tulisan ilmiah popular yang memberikan sudut pandang tambahan lagi menyegarkan.

Ketiga, berusaha untuk menuliskan kesaksian tentang usaha merawat kerukunan dan hidup harmoni dari lokasi kultural kita kedalam bentuk reportase warga atau menuliskan dalam bentuk opini popular yang disebarkan pada ruang publik digital. Tidak terlalu penting tulisan tersebut ilmiah atau memenuhi kaidah-kaidah yang disyaratkan. Jauh lebih penting adalah tulisan tersebut menceritakan pengalaman faktual subyek yang mengalami dan mampu memberi inspirasi serta optimisme.

Keempat, membangun komunitas digital yang menjadi wahana berbagi informasi sekaligus berdialog kesadaran lintas iman dalam merawat kerukunan. Komunitas digital ini bisa berlingkup regional atau nasional dimana keanggotaannya secara aktif membagi kisah-kisah atau pengalaman-pengalaman diri dan komunitas terdekatnya dalam mengelola hidup yang rukun dalam kemajemukan.

Empat turunan langkah praktis ini berfokus pada “penguatan kesadaran dan kehendak bersama dalam mengelola dan merawat kerukunan”. 

Pada level individual, ia diterapkan dalam usaha menghadapi serbuan gagasan-gagasan dengan spirit ekslusifisme yang menghentak-hentak dengan memanfaatkan fasilitas digitalisme. Sementara pada level sosial, usaha seperti ini berkontribusi terhadap pembentukan modal sosial dan juga modal kultural warga bangsa.

Di ranah modal sosial, empat tindakan ini akan berkontribusi dalam memperkuat jaringan kepercayaan dan perangkat nilai  yang diacu bersama antar manusia-manusia dalam satu lingkungan hidup digital. Sementara pada ranah modal kultural, berkontribusi terhadap pembentukan pengetahuan bersama sehingga memiliki "daya kritis" terhadap pikiran atau provokasi digital yang mengancam semangat mengelola kerukunan.

Pada agenda bertindak warga yang seiring dengan dua strategi berjalan di atas, keberadaan dunia yang dilipat oleh adu cepat informasi juga sistem-sistem simulasi citra itu akan hadapi dengan semangat berbagi (sharing) yang positif. Semangat berbagi yang juga diarahkan sebagai usaha “menyelamatkan manusia” dari mandulnya kritisisme dan merosotnya kemampuan bertindak bersama manakala menghadapi radikalisasi ekslusifisme yang membahayakan bangunan kerukunan lintas iman dalam gemuruh sosial media.

Semangat berbagi yang menjadi karakterisitik serta energi perubahan dalam tubuh generasi milenial.

Semoga.

***

Akun Twitter S Aji

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun