Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tentang Suara dan Kata-kata

25 Agustus 2016   22:08 Diperbarui: 26 Agustus 2016   06:09 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya baru membaca artikel Om Felix Tani yang menanggapi tulisan saya tentang “pemerdekaan kata-kata”. Akan tetapi saya harus meminta maaf kepada para pembaca tulisan ini, khususnya kepada Om Felix, karena ada tulisan senada dengan teks Narsisus yang dipublis belakangan dan kemudian saya hapus.

Saya menghapus tulisan tersebut tidak lama setelah dipublis. Pasalnya setelah membaca, saya jadi merasa ada sesuatu yang tidak meyakinkan bahkan sebatas hipotetis. Selain itu, tulisan saya terlalu bersuasana curhat, sarat dengan resah dan gelisah. Untung saja tidak sedang bersama semut-semut merah saat menuliskannya.

Barusan tadi saya mengunjungi tulisan Om Felix yang berjudul Tulisan adalah Penjara Kata. Beliau katakan itu oleh-oleh buat saya.

Alhamdulillah. Saya senang sekali. Sebagai yang lebih muda, dalam gagasan juga berproses menulis, diberi oleh-oleh tulisan yang mengeritik adalah tanda kasih sayang yang tua. Tanda perhatian yang tulus. Tentu--ini yang penting sekali--agar saya sedia berbenah dengan selalu menjadikan kritik sebagai salah satu cermin mengenali apa yang retak dalam pikiran dan buah yang dilahirkannya.  

Dalam penjelasannya, secara ringkas, Om Felix menunjukan bahwa ketika suara berbentuk sebagai kata, ia telah menjadi terpenjara. Ia akan tunduk pada otoritas penulis. Suara-suara tersebut akan kehilangan kemerdekaannya. Suara-suara itu lebih merdeka justru ketika ia tidak disetubuhi kata-kata.

Pada hemat saya, dari ringkasan kritis di atas, paling kurang ada empat elemen yang saling mengada. Ke-mengada-an yang bisa positif dalam arti membentuk teks/cerita/tulisan atau sebaliknya, pecah berserak karena antar elemennya bertumbukan.

Pertama, penulis plus motif kepentingannya. Kedua, suara-suara atau kita bisa sebut sebagai bunyi. Ketiga, sistem bahasa, dalam strukturalisme dikenal ada dua ranah: langue dan parole. Keempat, pembaca sebagai “audiens penikmat teks”.

Di kesempatan ini saya hanya hendak melihat dua elemen saja sebelum mengajak masuk pada pusat kepusingan. Pertama, penulis dan motifnya. Ketiga, sistem bahasa. 

Sebagai makluk sejarah, penulis tentu tidak sepi motif sebab kesadaran selalu mengacu pada sesuatu (intensional), bisa nilai-nilai umum, hasil bacaan, endapan pengalaman hidup, juga suasana emosional atas peristiwa tertentu. Motif dapat juga disebut sebagai posisi berpikir dan merasa penulisnya.

Sistem bahasa sendiri atau kita bisa sebut aturan yang membuat kata-kata beroleh makna dalam percakapan dan tulisan adalah medium berikut dimana penulis dan motifnya mengambil bentuk.

Dalam dua perjumpaan ini—motif penulis dan sistem bahasa--suara-suara pertama kali akan mengalami perubahan, mengalami bentuk yang kemudian terpenjara. Tentu dalam pengalaman saya dua elemen ini tidak pernah bisa diabaikan sebab ia akan mempengaruhi “kepantasannya dalam keberterimaan pembaca”.

“Kepantasan penerimaan” ini tidak otomatis sama dengan “melayani selera pasar”. Ia lebih sebagai, barangkali, kiat atau cara menyampaikan makna dan posisi berpikir dan merasa penulis. Dengan begitu, semoga juga, ia boleh memiliki bobot untuk berdialog.

Ini artinya pada metode. 

Saya kira Om Felix dalam kebutuhan ini memilih menggunakan "anarkisme tekstual". Dan Om Felix tepat: suara-suara itu sebaiknya diam saja di dalam kepala. Saya salah karena mengusahakan sesuatu yang tidak mungkin bisa.

Jauh lebih mudah membuat Vonny Cornelia terpikat ketimbang membuat suara dalam kepala merdeka..#ehem. Saya terbaca serupa Sisifus yang ironisnya relatif sering saya peringatkan, hiks. Wahai Camus, maafkan saya!

Nah, pada problem metode, saya mengalami pergulatan. Persisnya pada metode olah fiksi.

Pergulatan itu ada pada tantangan: bagaimana tidak membebani makna karena kategori-kategori tertentu yang diacu dalam berbahasa (dengan kategori sosiologi, misalnya). Sementara di saat bersamaan, kategori-kategori tersebut justru menjadi karakteristik yang membedakan. Membedakan disini jangan diartikan bahwa menjadi orisinil dalam karya, sesuatu yang sama mustahil dengan usaha membebaskan suara dari kepala. 

Saya berkehendak menemukan jenis gairah yang selalu menyala dan membentuk "ke-saya-an dalam puisi-cerpen-novel"; ke-saya-an dalam susastra. Secara ringkas, pergulatan ini berkaitan dengan penemuan “daya puitika”. Pergulatan demikian pernah saya ajukan lagi dalam tulisan yang sudah dihapus itu.

Pada "catatan suka-suka" atas malam Merayakan Chairil Anwar, saya masih maju dengan gusar yang sama akan pencaharian metode meramu kata dengan makna yang tidak terbebani oleh "kategori-kategori berat" tadi. Kategori yang saya maksud, dalam teks ini, adalah "keharusan untuk selalu rasional ala saintisme". Sekali lagi ini dalam olah susastra. Dan bisa jadi kategori itu terasa berat dalam tubuh kata karena sayanya yang kurang tangkas.

Sampai hari ini, saya sendiri belum dapat memberikan pengertian yang pas tentang apa yang dimaksud sebagai daya puitika. Namun, dalam dialog puisi, saya merasakan beda ciri antara Chairil Anwar dengan Amir Hamzah. Atau beda rasa Goenawan Mohamad dengan Joko Pinurbo. Atau Sapardi Djoko Damono dengan Sutardji Chalzoum Bachri.

Letak perbedaannya bukan semata karena aliran atau karena angkatan dalam periode berkarya. Akan tetapi, dalam pengalaman jumpa subyektif, terutama sebagai hentak emosi dan maknawi yang berjejak kuat dalam tiap kata-kata yang mereka puisikan. Puisi-puisi mereka bisa mengungkap apa yang belum disingkap dalam percakapan bahasa yang rutin/formil atau justru membuat kata-kata terselubung misteri yang menggetarkan.

Ada kisah menarik dalam usaha menghantam beban makna ini.

Pada gaya Sutardji yang disebut presiden penyair, misalnya. Dalam catatan Ignas Kleden, usaha dia membebaskan puisi dari beban-beban makna karena kategori tersebut adalah dengan teknik "dekonstruksi". Teknik yang membuat Sutardji kembali pada mantra, cara tutur yang pernah menyejarah sebelum berkuasanya bahasa yang resmi. 

Metode menemukan karakter puitika inilah biang keroknya. Ia yang mendesak-desak serasa lebih harus dibanding pasien sekarat yang meminta disembuhkan. Ia adalah suara-suara gerah dalam kepala yang menendang kesadaran berpantul-pantul dalam sesak sekarang ini.

Rasanya saya memang butuh jeda mengolah kata. Jeda yang disiplin demi menemui suara-suara dalam kepala yang riuh sekaligus sepi. Jeda untuk menjalankan pengembaraan berikutnya.

Terimakasih Om Guru Felix!

[Sampit, Agustus 2016]

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun