Aku bergegas ke halaman depan sambil menenteng dua kursi dari kayu jati. Senja sepertinya lebih mesra kalau merahnya disesap dengan secangkir kopi. Bersama mata Maryanka yang seperti elang betina. Serba siaga. Dan dingin.
Mentari tergelincir perlahan. Tak ada lalu lalang manusia dan anak-anak bermain di pinggir jalan. Kota ini dikenal sunyi. Penduduknya kebanyakan aparatur sipil negara, pegawai lapas terbesar di kota ini. Mereka lebih suka menghabiskan waktu di rumah.
“Maaat…”
Teriakan Maryanka memecah hening senja. Nadanya gembira.
“Maaat?”
“Aku di depan Mary.”
“Mat, aku ketemu radio tua.”
Maryanka kini berdiri di depanku. Radio tua disodorkannya. Ia lupa tadi hendak membuat kopi.
Aku meraih benda persegi itu, memutar tombol tunning. Ada suara penyiar bercampur bunyi gemerisik. Masih berfungsi. Suara penyiar yang kemudian terdengar makin jelas. Frekuensinya pas. Siaran berita.
Warta sore. Pendengar tercinta, pemerintah kota baru saja mengeluarkan maklumat yang meminta agar warga kota meningkatkan kewaspadaan dan pengawasan terhadap lingkungan. Dua orang psikopat yang selama ini menjadi DPO karena tuduhan pembunuhan berantai ditenggarai telah berpindah ke sini.
Kemudian hening. Aku dan Maryanka diam dalam tatap. Kemudian menyeringai.