Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[FITO] Dermaga Luka

24 Agustus 2016   16:35 Diperbarui: 25 Agustus 2016   00:51 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini sudah penghujung semester ke lima. Sebentar lagi libur kuliah.

Kau di sana, pada kota yang sedikit lebih ramai. Katanya belajar dan, halah, terserah apa yang kau lakukan. Sementara aku, juga di sebuah kota dan juga dengan urusan duniaku sendiri. Kita telah menjadi mahasiswa, terpelajar yang naik pangkat. Sebentar lagi kita akan berusaha lulus dan bekerja. Hidup sebagai suami istri, beranak, dan menjadi renta dengan nostalgia muda yang lebih sebagai mantra pembusuk kematian. 

Ya, aku sudah lama tahu persis apa yang kau lakukan di sana. Di kota yang setiap malamnya kau habiskan dengan nongkrong di kafe, merokok, lantas mabuk dan entah berakhir pada pelukan siapa. Aku tahu itu nona yang malang, hahaha. Kau tahu kenapa? Karena aku melakukan yang sejenis, di sini. Kita adalah setan yang sama.  

Siapa yang hendak kita salahkan?

Kita beruntung hidup dalam garis keturunan berlimpah. Andai pun kita diusir dari kampus seperti kucing kedinginan yang masuk di rumah, kita tetap jauh dari sengsara. Andai pun kita divonis menderita penyakit ganas, tetap saja kita akan terselamatkan nama baiknya. Andai pun kita berdua dibawa ke kantor polisi karena mabuk narkoba, kita masih bisa mengencingi hukum.

Bapakmu pengusaha, ayahku juga. Ibumu sosialita yang gemar belanja ke Paris, Milan, dan Monaco, sama juga dengan ibuku. Orang tua yang sibuk sendiri-sendiri. Orang tua zaman digital, sebentar saja di rumah, besok sudah di London, lusa di Washington, akhir pekan sedang di Singapura. Orang tua yang sudah tidak ingat kapan terakhir ia melihat pasangannya mengganti pakaian dalam.

Satu-satunya kesalahan kita adalah kita dijodohkan. Perjodohan terkutuk. 

Ia merampas kesempatan untuk belajar mengenal dan memutuskan memilih atau mengabaikanmu. Kau juga sepikiran bukan?

Perjodohan untuk kongsi bisnis. Demi menjaga kebesaran, menjaga penguasaan kekayaan. Omong kosong dengan bibit, bebet dan bobot! Mereka hanya mau terus mengontrol kekayaannya. Bahkan ketika telah menjadi hantu, mereka sudah lebih dulu menyusun rencana bisnis dan segala macam aturan yang harus kita jalankan. Atau kalau tidak, manakala mereka mulai tidak percaya, maka kekayaannya akan disembunyikan entah dimana. Mungkin di Panama, barangkali. Atau dibawa ke neraka sekalian.

Tapi kau tahu, aku tahu, kau dan aku adalah pesandiwara yang ulung. Kita berdua adalah pembunuh yang beraksi tanpa ekspresi. 

Boleh saja mereka merampas kesempatan untuk mengenal dan memilih sebagai anak muda. Kita berdua akan membalasnya dengan hidup foya-foya, menghabiskan dengan nongkrong di kafe-kafe sepanjang malam. Kita akan melepaskan kepalsuan rindu dan cita serta melakukan pemberontakan terhadap perjodohan dengan merayakan gairah muda yang terus liar sampai musnah. Kehabisan tenaga atau mampus di puncak liarnya.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun