Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merayakan Hari Merdeka: Masa Kecil dan Kecemasan Hari ini

15 Agustus 2016   11:54 Diperbarui: 16 Agustus 2016   12:14 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Merdeka dimulai dengan bebasnya rasa takut. Atau paling kurang, kemampuan mengendalikan rasa takut. 

Kalau pertanyaan ini dihadirkan lagi dalam kepala manusia yang sudah dan sedang "menuju tua dengan nasib yang menjadi kesunyian masing-masing" maka salah satu momen merdeka yang dirindukan adalah saat menjadi anak-anak. Memaknai merdeka sebagai anak-anak tentu pengalaman yang tidak sama kategorinya dengan yang sudah melewati masa ini. Namun, itu tidak berarti bahwa merdeka di kepala anak-anak tidak penting dijadikan bahan untuk mengenang dan memaknai apa sih merdeka itu bukan?

Beberapa puluh tahun ke belakang, setiap kita mengalami hari merdeka menurut anak-anak. 

Saya sendiri, waktu itu sekitar kelas 4 Sekolah Dasar, mengalami satu peristiwa yang berkesan--karena itu sebaiknya dituliskan kembali sebelum menjadi samar-samar kemudian tersimpan dalam daftar yang dilupakan ingatan--yang tentu saja juga berlangsung di ruang dan waktu yang lain untuk anak-anak seusia zaman itu. 

Peristiwa itu adalah parade hari kemerdekaan. Berlangsung di Kota Serui, Papua.

Sebelum hari itu tiba, kami sekumpulan bocah berkumpul merencanakan akan menampilkan drama jalanan untuk mengenang perjuangan Jenderal Besar Sudirman. Lokasi parade itu sendiri berpusat di Lapangan Trikora yang menjadi "jantung kota kecil" Kota Kembang ini. Dengan arahan guru kelas, adegan yang akan ditampilkan adalah kepemimpinan Jenderal Sudirman yang sedang ditandu dalam perang gerilya. Pesannya, untuk menjadi merdeka, manusia harus melawan rasa sakitnya sendiri. Yang masih kalah dengan rasa sakit dan penderitaan dirinya sendiri, maaf saja, masih jauh. 

Saya sendiri dalam drama jalanan itu diposisikan sebagai prajurit, pengawal saja. Diposisikan sebagai "orang-orang kecil di samping sosok besar". Jadi, peran saya adalah prajurit yang tertembak mati dengan darah dari kesumba yang diisi dalam plastik es kemudian diikatkan pada rusuk sebelah kiri. Saya mati dengan memeluk bambu runcing. 

Puncak dari drama perjuangan Jenderal Sudirman ala anak-anak adalah di depan Lapangan Trikora. 

Persis di depan panggung di mana bupati duduk bersama jajarannya. Tetiba saja suasana meriah dan "chaos kecil" terjadi: anak-anak yang saling perang-perangan dengan desing suara peluru tiruan dan teriakan, aaakh... mati. Sesekali ditimpali merdeka, merdeka! Saya salah satu yang teriak merdekaaa... lalu desing peluru... dan akh... mati. 

Tak disangka, begitu "chaos kecil berakhir", bapak bupati berdiri dan memberi hormat. Sikapnya sempurna. Kami membalas hormat tersebut. Kemudian tersenyum gembira. Akting kami berhasil. Jangan lupa, ini pentas anak kelas 4 SD lho! Horeeee.

***

Imajinasi merebut kemerdekaan dari perjuangan Jenderal Besar Sudirman tentu saja berasal-usul pada film-film Orde Baru yang kini digugat lagi isinya. Bagi saya--dengan kesadaran saat itu-- tidak terlalu penting acuan imajinasi itu salah. Tapi yang menciptakan kecemasan adalah ketika zaman bergerak dan merdeka menjadi kehendak yang bertentangan di kepala-kepala orang dewasa. Lebih pasnya, orang-orang dewasa yang berkuasa.

Maksud saya adalah tentang situasi Papua hari ini. 

Kalau kita ikuti perkembangan berita di media massa juga membaca analisis-analisis faktual atas Tanah Papua, kita akan segera tahu ada yang terus retak dan setiap hari berada dalam ketegangan. Sesuatu itu adalah nasionalisme Indonesia yang bertahun lamanya dikendalikan oleh pendekatan military-nationalism yang bersimbiosis dengan state-capitalism. Military-nationalism yang membuah luka generasi, menciptakan memori penderitaan (memoria passionis). Memoria Passionis yang, oleh I Ngurah Suryawan (dalam Memoria Passionis dan Imajinasi Identitas Papua), dikatakan menjelma sebagai: 

Cerita-cerita tentang kegetiran dan perjuangan hidup rakyat Papua menghadapi penindasan dan kekerasan tidak pernah dibukukan, tetapi diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi. Nada dasar segala ungkapannya: kami dinilai bukan manusia. Artinya kami tidak diperlakukan sebagai manusia tetapi sebagai obyek: obyek kebijakan politik, obyek operasi militer, obyek pengembangan ekonomi, obyek turisme dan lain sebagainya.

Sesudah berpuluh tahun di tanah perantauan, saya kembali dan melihat keretakan itu memangsa korban. Tepatnya tahun 2011.

Saya bukan saja membaca berita-berita tentang pembunuhan misterius yang kebanyakan warga sipil. Saya juga mendengar langsung cerita tentang korban-korban dari orang-orang dekat mereka. Selain itu, salah satu lokasi pembunuhan misterius adalah tempat saya dan teman-teman yang sedang jatuh cinta berdiri antre dengan duit koin di depan sebuah telepon umum. Saya seperti berdiri di ruang yang asing, seolah saja tidak pernah dilahirkan di sini. 

Saya melihat wajah tetangga-tetangga yang dulu tertawa dengan lepas sekarang hidup dengan kekhawatiran. Mereka mungkin sudah tidak pernah tersenyum dengan lepas. Bisa jadi juga sudah kelelahan menanggung curiga dan cemas setiap hari. Dan yang paling mengkhawatirkan adalah setiap kekerasan yang dihadapi dengan kekerasan akan berujung pada lingkaran setan. Ketika lingkaran setan kekerasan ini berkuasa, sudah bisa dipastikan sebuah peradaban hanya tinggal menunggu punah.

Oh ya, Anda bisa saja bilang kalau ketegangan-kecemasan-ketakutan-pengawetan prasangka adalah kondisi yang harus diciptakan untuk melanggengkan konflik dan status darurat sebagaimana logika yang dipakai dalam pendekatan "ekonomi-politik kekerasan". Artinya, ada yang sedang memainkan kepentingannya atas situasi di Papua, tanah yang sangat kaya. Atau Anda bisa saja mengatakan di Papua adalah kondisi yang niscaya oleh karena pergolakan politik yang berkaitan dengan kehendak untuk berpisah dan hidup sendiri. Atau Anda juga boleh mengatakan situasi Papua adalah bagian dari perseteruan intelijen tentang tinggi, yang mungkin dengan penerapan metode perang asimetris, berusaha menghancurkan eksistensi negara integralisitik Indonesia.

Karena itu, hal-hal di atas harus diperhatikan dengan saksama dan tanpa ketakutan berlebih.

Akan tetapi, saya tidak bicara sebagai mereka yang memahami tiga perspektif di atas. Saya berdiri dari sudut orang-orang yang tidak menggunakan pengetahuan tersebut dalam memaknai situasi. Orang-orang yang bisa tiba-tiba terjebak dalam situasi chaos yang tiada mereka sangka-sangka. Orang-orang awam di pinggiran pergolakan politik.

Yang kini jadi kegusaran saya, bagaimana suasana batin anak-anak hari ini ketika hari proklamasi di tanah yang bergejolak seperti Papua? Anak-anak yang tidak pernah tahu apa sesungguhnya yang sedang terjadi di tanah lahir mereka. Anak-anak yang bingung ketika ketemu teman sebayanya yang lebih khidmat dalam menyanyikan lagu kemerdekaan yang berbeda? Anak-anak yang mungkin juga sudah ditulari prasangka-prasangka. 

Bagaimana mereka melewati masa kecil dengan gejolak politik yang tidak sederhana? Bukan saja pada anak-anak yang orang tuanya merantau dari negeri-negeri jauh di Indonesia tetapi juga anak-anak yang lahir dari suku-suku lokal?

Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana jika menjadi anak-anak di saat-saat sekarang ini. Saya hanya punya kenangan masa berpuluh tahun lalu. Dan hari ini yang hadir adalah kecemasan.

Jika merdeka dimulai dengan berhentinya rasa takut atau paling kurang dikendalikannya rasa takut, maka saya tahu, saya belum 100% merdeka.

Salam.

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun