Imajinasi merebut kemerdekaan dari perjuangan Jenderal Besar Sudirman tentu saja berasal-usul pada film-film Orde Baru yang kini digugat lagi isinya. Bagi saya--dengan kesadaran saat itu-- tidak terlalu penting acuan imajinasi itu salah. Tapi yang menciptakan kecemasan adalah ketika zaman bergerak dan merdeka menjadi kehendak yang bertentangan di kepala-kepala orang dewasa. Lebih pasnya, orang-orang dewasa yang berkuasa.
Maksud saya adalah tentang situasi Papua hari ini.Â
Kalau kita ikuti perkembangan berita di media massa juga membaca analisis-analisis faktual atas Tanah Papua, kita akan segera tahu ada yang terus retak dan setiap hari berada dalam ketegangan. Sesuatu itu adalah nasionalisme Indonesia yang bertahun lamanya dikendalikan oleh pendekatan military-nationalism yang bersimbiosis dengan state-capitalism. Military-nationalism yang membuah luka generasi, menciptakan memori penderitaan (memoria passionis). Memoria Passionis yang, oleh I Ngurah Suryawan (dalam Memoria Passionis dan Imajinasi Identitas Papua), dikatakan menjelma sebagai:Â
Cerita-cerita tentang kegetiran dan perjuangan hidup rakyat Papua menghadapi penindasan dan kekerasan tidak pernah dibukukan, tetapi diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi. Nada dasar segala ungkapannya:Â kami dinilai bukan manusia. Artinya kami tidak diperlakukan sebagai manusia tetapi sebagai obyek: obyek kebijakan politik, obyek operasi militer, obyek pengembangan ekonomi, obyek turisme dan lain sebagainya.
Sesudah berpuluh tahun di tanah perantauan, saya kembali dan melihat keretakan itu memangsa korban. Tepatnya tahun 2011.
Saya bukan saja membaca berita-berita tentang pembunuhan misterius yang kebanyakan warga sipil. Saya juga mendengar langsung cerita tentang korban-korban dari orang-orang dekat mereka. Selain itu, salah satu lokasi pembunuhan misterius adalah tempat saya dan teman-teman yang sedang jatuh cinta berdiri antre dengan duit koin di depan sebuah telepon umum. Saya seperti berdiri di ruang yang asing, seolah saja tidak pernah dilahirkan di sini.Â
Saya melihat wajah tetangga-tetangga yang dulu tertawa dengan lepas sekarang hidup dengan kekhawatiran. Mereka mungkin sudah tidak pernah tersenyum dengan lepas. Bisa jadi juga sudah kelelahan menanggung curiga dan cemas setiap hari. Dan yang paling mengkhawatirkan adalah setiap kekerasan yang dihadapi dengan kekerasan akan berujung pada lingkaran setan. Ketika lingkaran setan kekerasan ini berkuasa, sudah bisa dipastikan sebuah peradaban hanya tinggal menunggu punah.
Oh ya, Anda bisa saja bilang kalau ketegangan-kecemasan-ketakutan-pengawetan prasangka adalah kondisi yang harus diciptakan untuk melanggengkan konflik dan status darurat sebagaimana logika yang dipakai dalam pendekatan "ekonomi-politik kekerasan". Artinya, ada yang sedang memainkan kepentingannya atas situasi di Papua, tanah yang sangat kaya. Atau Anda bisa saja mengatakan di Papua adalah kondisi yang niscaya oleh karena pergolakan politik yang berkaitan dengan kehendak untuk berpisah dan hidup sendiri. Atau Anda juga boleh mengatakan situasi Papua adalah bagian dari perseteruan intelijen tentang tinggi, yang mungkin dengan penerapan metode perang asimetris, berusaha menghancurkan eksistensi negara integralisitik Indonesia.
Karena itu, hal-hal di atas harus diperhatikan dengan saksama dan tanpa ketakutan berlebih.
Akan tetapi, saya tidak bicara sebagai mereka yang memahami tiga perspektif di atas. Saya berdiri dari sudut orang-orang yang tidak menggunakan pengetahuan tersebut dalam memaknai situasi. Orang-orang yang bisa tiba-tiba terjebak dalam situasi chaos yang tiada mereka sangka-sangka. Orang-orang awam di pinggiran pergolakan politik.
Yang kini jadi kegusaran saya, bagaimana suasana batin anak-anak hari ini ketika hari proklamasi di tanah yang bergejolak seperti Papua? Anak-anak yang tidak pernah tahu apa sesungguhnya yang sedang terjadi di tanah lahir mereka. Anak-anak yang bingung ketika ketemu teman sebayanya yang lebih khidmat dalam menyanyikan lagu kemerdekaan yang berbeda? Anak-anak yang mungkin juga sudah ditulari prasangka-prasangka.Â