Sejak tahu Bourne seri kelima sudah tayang di bioskop, saya penasaran.Â
Film bergenre thriller intelijen ini memang saya ikuti sejak awal dengan kesan yang terus tertanam bahwa film ini adalah salah satu model adaptasi dari novel yang berhasil. Selain itu juga, Bourne cukup bagus dalam melihat dunia gelap operasi intelijen, khususnya tentang proyek-proyek berbahaya berkedok patriotisme dan keamanan negara. Karena itulah begitu menemukan tempat dengan daya dukung akses internet yang kencang, saya segera khusyuk menikmati seri kelima yang kembali digarap oleh Paul Greenggrass, sosok yang sebelumnya telah menggarap seri kedua dan ketiga.
Sebagai pengingat saja, Bourne adalah narasi arus balik perlawanan. Sebuah aksi kontra intelijen dari dalam, dari agen yang kehilangan memorinya sedemikian parah dan kembali mengumpulkan puzzle ingatannya yang pecah dengan kemarahan. Bourne tidak hadir sebagai perlawanan terbuka untuk menghancurkan keberadaan satu negara super power. Bourne sekedar hadir menyerang institusi intelijen yang korup selevel CIA.
Pada Bourne seri kelima berjudul Jason Bourne, narasi di atas masih sama terbaca.Â
Kali ini Bourne yang lama menjadi hantu kembali memburu jejak retak ingatan atas sebuah tragedi yang membunuh ayahnya di Beirut, Libanon. Perburuan yang dimulai dari aksi peretasan data rahasia--tema yang terus mengingatkan pada aksi Snowden--oleh rekan intelijennya, Nicky Parsons yang juga membelot. Nicky ini kemudian mati oleh "asset" produk proyek Blackbriar yang juga senjata pembunuh yang ampuh.
Perburuan kali ini membawanya kembali ke pusat patriotisme yang terus redup di hatinya, Amerika Serikat.Â
Di Amerika, Las Vegas persisnya, Bourne bertemu penggal terakhir di pusat kekuasaan busuk CIA, Robert Dewey (Tomy Lee Jones). Dewey, sebagaimana petinggi dari proyek rahasia yang melahirkan senjata pembunuh seperti Bourne, juga mengetahui bahwa hidupnya hanya tinggal menghitung waktu sebagaimana koleganya yang sudah lebih dahulu dihabisi. Karir Dewey berujung mati di kamar hotel tempat diselenggarakannya sebuah konferensi tentang Sosial Media, Hak Privat dan Keamanan Negara.
Dewey tidak menyadari jika kematiannya yang sendiri di kamar hotel itu bukan semata karena konsekuensi yang niscaya dari perburuan Bourne. Ia juga mati karena sudah dipandang tidak lebih berguna dari buah busuk pada sebuah pohon. Adalah Heather Lee (Alicia Vikander), anak buahnya, yang menjalankan operasi penyingkiran Dewey. Lee yang bergabung dalam agensi sesudah Bourne menjadi menjadi hantu membaca kembali arsip-arsip. Dan ia melihat masih ada peluang mengembalikan senjata pembunuh ampuh dari proyek Treadstone ini. Peluang itu adalah jiwa patriotik Bourne.
Akhir cerita ditutup oleh tawaran Lee kepada Bourne agar kembali. Sebelumnya, Lee berbincang dengan bosnya dan menyampaikan rencana mengembalikan itu. Termasuk juga jika gagal dikembalikan, Bourne akan disingkirkan. Yang tak disangkanya, pembicaraan itu direkam oleh Bourne. Lee, sebagai kepala divisi Cyber Ops CIA, telah abai. Ia lupa jika tengah berurusan dengan "hantu pembunuh" yang selalu berhasil.
So, apa yang bisa dicatat dari film ini?
Kalau kita melihat Bourne sebagai teks yang saling terjalin utuh, yaitu dari menyimak Bourne Identity, Bourne Supremacy dan Bourne Ultimatum, maka kita akan melihat aksi balas dendam senjata pembunuh yang mengalami amnesia. Saya tidak memasukkan Bourne Legacy karena sosok yang dihadirkan lain walau ide ceritanya masih sama. Ide ini masih menjadi inti cerita sehingga para penggemarnya tidak kehilangan sejarah Bourne.
Namun jika kita melihat "kedalaman teks" Jason Bourne dibandingkan tiga narasi sebelumnya, maka kali ini Greenggrass bagi saya "tidak berhasil".
Pasalnya, bagi yang menyukai adegan tembak-pukul-kejar-kejaran yang begitu seru pada tiga seri sebelumnya, yang muncul di seri kelima ini datar-datar saja. Hanya ada satu asset yang ditugaskan menghabisi Bourne. Pada seri yang sebelumnya, asset yang dikirim selalu lebih dari satu dengan skill membunuh yang juga mengerikan. Bourne juga terlalu mudah menghabisinya.
Sedangkan bagi yang penasaran dengan metode kerja intelijen, di seri ini juga tidak terlihat. Bourne mudah sekali kembali di tanah patriotiknya karena dukungan Lee yang meretas data base imigrasi sehingga ia bisa lolos dari check in. Aksi pengawasan dengan komputer pun, misalnya dengan meretas CCTV atau memasang program pelacak lokasi pada data yang dicuri, terlihat sederhana saja. Teknologi pengintaian yang ditampilkan pun begitu-begitu saja: ruang dingin dengan akses masuk khusus, layar besar, komputer dimana-mana, dan staf yang serius menyimak perintah operasi.
Bagaimana dengan romantisme yang getir?Â
Sisi emosional ini bahkan tidak terlihat sama sekali. Nicky Parsons, yang sesungguhnya adalah kekasih pertama Bourne sebelum menderita amnesia, hanya hadir sebagai penghubung yang menjadi titik balik. Bourne benar-benar telah menjadi senjata pembunuh yang kesepian--terlihat pada sorot mata yang selalu sendu--dan survive di pinggiran pusat operasi dengan tubuh sedikit berlemak.Â
Sehingga kesimpulan saya, Bourne seri kelima bukan saja tidak menceritakan sesuatu yang berbeda. Bourne yang ini juga hambar secara emosional.Â
Bourne di kepala pembuatnya mungkin sudah tampil sebagai gambar yang penuh, sedang menuju "the end of history". Curiga saya, ini bisa terjadi karena terlalu berpusat pada tokoh utama, ide pembalasan dendam dan kekuasaan intelijen yang korup. Andai saja sang sutradara mengeksploitasi karakter dari lawan-lawan Bourne, seperti yang dilakukan Nolan dalam trilogi Batman, saya rasa hentakan psiko-filmnya akan berbeda. Imajinasi penggemarnya pun akan dibawa ke gambar yang baru.Â
Tentu saja dengan catatan usaha mengeksploitasi karakter musuh (antagonisme) juga dengan kesadaran bahwa Batman yang berasal dari komik dan duluan tenar itu sudah memiliki jejak memorial tertentu di kepala penggemarnya.Â
Di luar "catatan tidak berhasil itu", sebenarnya sih ada sisi menarik yang dilewatkan atau kurang digarap oleh Greenggrass yakni mengeksploitasi "permainan siasat dalam siasat" yang menghantam Dewey secara telak, mati. Permainan siasat yang menumpang pada kemarahan Bourne. Kehadiran sosok Alicia Vikander sebagai Heather Lee sebenarnya pas dengan kebutuhan ini. Wajahnya yang ngimut itu kalau divermaak karakternya seperti dalam Man From UNCLE rasanya bisa memenuhi plot ini.Â
Naah, satu-satunya yang saya pelajari dari versi kelima ini adalah jangan pernah percaya kepada siapa pun dan selalu bersikap waspada di era retas meretas. Satu-satunya yang bisa dipercaya adalah dirimu sendiri. Sebagaimana Bourne yang mengalami kemalangan, hidup bergulat sepi bersama pecahan-pecahan kenangan di kepalanya yang mulai berambut putih. Bourne yang sendiri dan meredup bersama patriotismenya.
Sudah segitu aja. Maaf, sering terjadi penggemar yang kecewa tiba-tiba merasa lebih pintar dari sutradaranya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H