Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Menulis itu Menolak Menyerah!

7 Agustus 2016   22:05 Diperbarui: 8 Agustus 2016   05:34 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
DAS Katingan | dok.pribadi.

Di perahu kelotok tadi, saya bersemangat sekali untuk segera menulis. Dalam hati, kalau sudah ketemu sinyal, segera log in Kompasiana. Gara-garanya baru saja menyelesaikan tiga bab tersisa dari novel Lelaki Harimau, Eka Kurniawan. Novel tipis yang menyedot habis fokus dan membenamkan imajinasi ke dalam setiap kalimatnya. Walhasil, hampir tujuh jam pelayaran sungai tidak terasa.

Ketika tiba pada kalimat terakhir (bagian lima)—itulah kala harimau di dalam tubuhnya keluar. Putih serupa angsa—saya baru menengadah dan menarik nafas sedikit panjang. Gila nih barang, super!

Lelaki Harimau memang novel luar biasa. Pantas disanjung setinggi langit. Bukan karena sudah diterjemahkan untuk pembaca luar negeri atau karena potongan-potongan kesaksian yang memujanya, tapi karena ia membuat saya tidak berpaling kemana-mana.

Cara Eka menyusun karakter tokoh dan plot dalam rangkaian kalimat begitu memikat. Cara ia melukiskan suasana pedesaan, kemiskinan, penderitaan, juga birahi dan kemarahan membuat pembaca selalu dipapar keterkejutan dan menjadi emosianal, larut. Susunan kalimat dengan pelukisan yang menghipnotis, puitis, dan karena itu juga memperkaya makna.

Kekaguman seperti di atas terus bekerja dalam kepala sepanjang sisa pelayaran. Hal yang kemudian membuat saya tidak sabaran segera tiba di dermaga tujuan, menyalakan Personal Computer dan menulis. Akan tetapi, sayang sekali, menulis bukan perkara yang bisa lekas bagi saya. Andai pun bisa, saya membutuhkan suasana yang pas. Padahal, bagi pengalaman yang lain, ketika gairah menulis itu penuh, untuk mengikatnya agar tidak menguap, bikinlah pohon ide atau sekedar menulis kata kuncinya pada selembar kertas. Saya tidak mengikuti anjuran tips seperti ini.

Akibatnya, semangat saya yang membuncah itu berangsur tenggelam seolah senja, tanpa saya suruh. Ide-ide yang sempat menuliskan narasinya di kepala, juga mengabur. Karena kenyataan yang saya hidupi sehari-hari mengembalikan seluruh pikiran pada apa yang tampak di depan mata.

Sesudah turun dari perahu kelotok—perahu berbodi besar yang digerakkan dengan mesin L300 dan menjadi alat transportasi berbayar—saya harus berpindah perahu kecil, disebut ces.  Ganti menumpang pada dua orang kawan yang hendak ke tujuan yang sama. Dalam sisa pelayaran dengan mereka inilah, saya bertemu perisitiwa harian di DAS Katingan Kalimantan Tengah, yang memindahkan imajinasi titipan Lelaki Harimau dan gairah menulis entah kemana.

Peristiwa pertama, berjumpa kapal kecil yang sedang menarik lanting sedot. Lanting sedot menyerupai rakit dengan teknologi sederhana yang digunakan untuk menyedot mas dari lubang galian. Kapal dan lanting ini berjalan merayap menuju hulu DAS.

Peristiwa kedua, bertemu seorang muda yang sedang melempar jala dan memindahkan ikan yang terjala ke dalam kantung kecil yang digantung pada kulit air. Dia melempar jala berukuran kecil dari atas batang kayu yang terapung dan dipasang papan, serupa rakit terikat, dan di atasnya juga terletak sebuah jamban.

Dua peristiwa faktual ini bukan barang baru yang saya jumpai. Terlebih jika berkunjung ke daerah agak hulu dari muara.

Pada akhirnya pikiran menjadi disibuki dengan membayangkan lubang-lubang galian emas yang menganga, limbah buangan yang mengalir ke sungai besar, menjumpai ikan-ikan, dan dijala penduduk tepian sungai.

Saya membayangkan sebuah kesatuan lingkungan hidup dimana manusia memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Saya membayangkan sedang berada dalam satu kesatuan lansekap yang akan mengalami masalah yang lebih serius di masa depan dimana generasi yang hari ini masih boleh menjala ikan di tepian dan menggali emas di bagian hulu sudah tiada semua. Sementara anak cucu generasi mereka tentu harus hidup dengan warisan yang bisa jadi terlanjur rusak. Gambaran Margio,  Komar bin Syueb, Anwar Sadat, Nuraeni yang menjadi “sumbu cerita” dalam novel Eka terbenam seketika.

Hingga akhirnya perahu ces itu membawa kami tiba di dermaga tujuan.

Saya mengambil tas panggul, meniti pelan batang kayu hingga tiba di darat dan berjumpa dengan jalan desa yang belum diaspal sehingga ketika masuk kemarau debunya terbang kemana angin berhembus. Saya terus berjalan pelan menuju rumah singgah yang telah kami inapi tiga tahun terakhir.

Tiba di rumah singgah, setelah melepas tas, barulah rasa penat itu menunjukkan kehadirannya. Satu solusi otomatis menyembul seketika: tindakan untuk mengurai kehadirannya adalah segera mandi tentu dengan berkeramas. Tapi sebelum mandi berwujud, saya mengecek perkembangan di social media. Lagi pula, saya mendadak berkeringat.

Sesudah mandi yang lumayan menyegarkan tubuh terhadap penat pelayaran selama tujuh jam, saya baru mencari kembali cahaya-cahaya ide yang begitu benderang ketika menutup lembar terakhir Lelaki Harimau. Ternyata tiada mudah. Mereka telah pergi seolah kunang-kunang yang tak lagi kembali pada hutan-hutan yang tutupannya menganga.

Tapi saya tidak mau menyerah begitu saja. Laptop tetap saya nyalakan dan menulis beberapa anak kalimat dengan harapan dapat menjadi perangsang di lembar putih Microsoft Word. Berharap cahaya-cahaya ide itu bisa kembali dan menyala di benak.  Masih juga tidak mudah.

Saya memilih berhenti sebentar, ada rasa jengkel yang kini tumbuh menambah kesulitan memulai menulis. Sementara di saat bersamaan, tekad untuk menghasilkan tulisan terus saja mendesak-desak.

Hal berikut yang datang kemudian, sebagai pelengkap kesulitan menarik kembali cahaya-cahaya ide dan kalimat-kalimat perangsang yang terbiar di lembar putih halaman Microsoft Word, adalah keinginan untuk tidur. Kombinasi mereka bertiga ini segera saja membawa saya berhadapan dengan kemungkinan jalan buntu menulis. Tapi saya beryukur karena tekad itu kini ganti mengejek: masa menulis harus kalah sama ide yang lepas dan penat yang merayu-rayu untuk tidur?

Saya terus ingat pada sungai, menulislah seperti air. Mengalir saja. Hanya perlu temukan "mata airnya". Tidak perlu dibebani macam-macam. Bebaskan saja kata-kata menyusun ceritanya tanpa kategori-kategori yang membuatnya terseok-seok melangkah.

Jadi saya menyusun saja kalimat pembuka yang menjadi “mata air” kemudian menumpahkan segala rasa dan endapan ingatan atas peristiwa yang dialami sepanjang hari ini dengan kalimat-kalimat yang bernada curhat. Saya menulisnya pelan-pelan seperti sedang berbicara di depan cermin, sedang monolog di kamar mandi. Seperti sedang bicara pada wajah sendiri yang sedang cemas, khawatir saya menyerah dalam menyusun sebuah cerita.

Sebab cerita bisa dimulai dari mana saja, walhasil, jadilah “catatan harian ini”.

Hah, malam ini, saya membuktikan diri bahwa gairah menulis tidak boleh menyerah karena ide yang lepas dan penat yang merantai sekujur tubuh. Menulis adalah perjuangan mengatasi keduanya sekali pun sekedar melahirkan curhat atas peristiwa harian. Dan ketika Anda membaca ini sampai selesai, barangkali akan berujar, curhat sampah.

Tidak masalah. Malam ini, yang pasti, saya menolak menyerah, melawan terkapar dikalahkan tubuh lelah dan ide yang jengah!

Heu heu heu... 

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun