Tahun-tahun itu, aku hanya berdiri memandangmu dari balik warga yang berdiri seperti pagar yang dihiasi bendera warna-warni, Gus. Aku tak bisa menjangkaumu. Padahal kau sudah bukan presiden, bukan orang nomor satu lagi di istana. Hingga rombongan membawamu lenyap dalam sebuah rumah. Ada pertemuan khusus, kata seorang penjaga kepadaku.
Aku datang padamu dengan membawa buku kecil yang baru bisa dicetak dengan mesin printer dan dijilid seadanya saja. Buku yang berisikan catatan-catatan sebuah seminar tentang gerakan perempuan. Buku yang diharapkan bisa diberikan sedikit saja catatan pengantar oleh ibu Nyai, istrimu Gus. Buku itu lantas dibawa seorang yang ikut dalam pertemuan tersebut.
Hingga pertemuan selesai, aku tak juga berhasil mendekat tubuhmu yang ditatih. Aku hanya ingin mencium tanganmu. Bukan mencari berkah, aku kangen saja Gus. Aku kangen mencium tangan manusia yang bukunya kubaca ketika kerusuhan meledak di sekitarku.
Buku itu Tuhan Tidak Perlu dibela, berwarna putih. Buku yang berisikan kumpulan tulisan-tulisanmu. Aku membacanya ditemani debur ombak yang sayup-sayup kudengar dari teras kosan. Sedang di berita-berita, kerusuhan masih membakar anak-anak manusia dalam perang saudara.
Beberapa tahun kemudian, kau datang lagi ke kota ini. Sebuah seminar memanggilmu.
Dan sama seperti yang dulu, aku tetaplah jiwa muda yang hanya bisa memandang dari jauh. Terlalu padat manusia di sekitar jalanmu yang dipapah. Ah, belum nasib baikku. Walau sekedar mencium sebentar tanganmu, Gus.
Sesudah itu, tak ada lagi kedatanganmu, ke kota ini. Dan aku hanya memendam keinginan sederhana itu. Kemudian waktu membawaku ke Jakarta, merantau mengikuti irama urbanisasi.
Kau telah sakit-sakitan Gus. Tubuh tambunmu makin payah saja. Sakit menggerogotimu secara pasti. Dan kematian datang juga memanggilmu.Â
Ribuan manusia mengantar kepulanganmu. Indonesia kehilangan jiwa yang menjadi pembela minoritas dan yang didiskriminasikan paling gigih. Kehilangan yang sangat mencemaskan di tengah semarak intoleransi dan radikalisme yang makin terbuka.
Aku bahkan tidak bisa melayatimu. Saat itu, aku sedang tertahan di sebuah kota menunggu kepastian kembali ke ibu kota. Aku hanya bisa melihat dari televisi dengan dada sesak haru. Remuk. Sudah pasti, aku tak pernah bisa mencium tanganmu, Gus.
Untuk mengobatinya, aku hadir pada acara khaul di pesantrenmu, Ciganjur.