Dia yang kembali setiap sore: lusuh dan lelah.
Sepasang yang sukar disembunyikan wajah atau disamarkan hati. Apalagi di kota-kota. Yang warganya berjuang menguapkan itu dalam percakapan, kopi dan kafe. Tapi mereka tidak menyukai filsafat dan puisi!
Seperti sore ini, aku dan kamu. Pada sebuah kafe dengan harum kopi dari anak-anak suku di kaki gunung. Terbenam dalam ruang dingin tanpa thermometer. Dingin tiada berangka.
Lalu kepada facebook, kamu berkisah bosmu yang bodoh dengan perintah yang berulang, seringkali marah terhadap kesalahan-kesalahannya sendiri. Kemudian ganti aku, kepada twitter, dengan cerita tentang rekan kerja yang culas di balik wajah yang selalu memasang ramah. Emosi kita bertukar dengan suka, komentar, bagikan, atau re-twitt.
Sesudah jalanan sepi di luar jendela, kita masih berusaha menenggelamkan sisa muak dan kemarahan, sepasang lain yang kelak menjadi mimpi buruk lewat igau yang mengamuk.Â
Kemudian kita akan berjalan pulang. Membaringkan muak dan marah terpendam tanpa saling memeluk.
Kita tahu tanpa mengaku:
Besok sore, kita akan kembali dengan sepasang yang sama.
Dan kita akan selalu mengeluh pada facebook atau twitter, bukan?
[2016]
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H