Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Menulis, Sebuah Kesaksian "Picisan"

14 Juli 2016   10:30 Diperbarui: 14 Juli 2016   10:38 1
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[Tulisan di bawah ini ditulis dengan model tutur Papua-Melayu. Sengaja saya menulis begini karena diinspirasi Ben Anderson, Indonesianis asal Amerika Serikat, yang pernah menulis dengan bahasa Indonesia Lama. Tapi poinnya bukan sekedar meniru Ben. Lebih dari itu, ini tulisan untuk merayakan gairah picisan dalam berbahasa tulis: menulis dengan bahasa tidak resmi yang membesarkan saya]

---

Teman, dulu tu, waktu pertama menulis, sa pu tulisan hanya ditempel di dinding sampe da pu kertas warna kuning. Sama dengan warna dinding putih yang sering kena rembesan air hujan baru tra pernah di cat. Seperti panu. Jelek sekali to?

Padahal, kam tau, menulis zaman komputer masih barang langka itu tara mudah. Apalagi sa ini tra pernah kursus komputer. Mau menulis satu kata saja harus perhatikan huruf a dimana, p dimana, k dimana, titik deng koma dong sembunyi dimana. Maka itu mo susun satu paragrap saja panta leher pu tegang sampeee. Mama e, menderita, sumpah ni!

Eh, kam tau panta leher ka tidak? Panta leher itu sama dengan pangkal leher.

Yang paling bikin sa jengkel itu su setenga mati menulis, sa pu senior di kampus yang sa minta dia koreksi cuma angguk kepala baru bilang, “tetap menulis!” Baaah, padahal sa ini butuh kritik. Secara to, senior ini juara resensi buku. Kalau dia yang menilai kan mantap. Bisa diandalkan, terpercaya. Sebaliknya juga, kalau memang tulisan itu selevel sampah yang bikin muntah, bilang saja to.

Tapi dia cuma bilang begitu. Dia tra memuji, tra menghina juga. Rasanya macam bilang cinta ke pujaan hati baru dibalas dengan diam saja, aih. Lebih baik dia menolak halus dengan bilang, “adooh Kaka, ade minta maaf. Ade masih mo skolah.”

Dari pengalaman deng senior yang cuma angguk-angguk kepala baru bilang terus menulis itu, sa jadi pikir-pikir. Kenapa waktu itu dia cuma bilang begitu e?

Sa rasa ada dua hal.

Pertama, dia tra mau kasih komentar keras karena tau sa ini baru menulis. Jang sampe sa patah arang lagi, gawat. Jadi harus kasih semangat. Kedua, dia tra memuji supaya sa juga tra cepat puas diri. Supaya sa belajar dan menulis lebih baik lagi.

Sesudah itu, sa su tra pernah minta senior tadi tu pu pendapat. Sesudah itu sa menulis, menulis, dan menulis. Terutama kalo patah hati, pasti sa pu tulisan banyaak ee. Ha ha ha.

Menulis, menulis yang bawa sa tiba di Kompasiana, perintis jurnalisme warga di Indonesia.

Pertama kali menulis di Kompasiana ini sa datang dengan gambar diri yang kabur. Sa ingin menunjukkan siapa saya, tapi bagimana e? Sa ini manusia dari pinggir, udik, hanya pernah belajar sosiologi. Baru apa yang bisa sa tulis?  

Sejak itu sa yakin-yakinkan diri supaya menulis dengan istilah-istilah sosiologi, bukan teori. Sa berharap dengan begitu, Udikisme yang melekat di diri ini boleh dibaca dengan pengertian yang berbeda. Sekalian dengan begitu, kam yang hilir mudik di Kompasiana dengan kesadaran manusia kota akan selalu dalam “ingatan yang diteror”: Udikisme masih hidup, dan melawan! Jadi yang lupa diri merasa urban dan modern jang merasa sudah memenangi sejarah macam keyakinan aneh Francis Fukuyama.

Ih, menulis su jadi macam perang saja e..

Tapi kam masih ingat to kalau Bapa Pramoedya pernah bilang menulis sama dengan mengusahakan kemerdekaan. Siapa pu kemerdekaan? Ada dua kemerdekaan, pertama, kemerdekaan yang menulis. Kedua, kemerdekaan mereka, orang-orang kecil, jelata, sengsara, alas kaki, dkk,dll, yang dihinakan dong pu hidup.

Ini ni, gara-gara ikut Bapa Pram pu nasehat, sa selalu ingat-ingatkan diri kalau menulis itu perjuangan untuk merdeka.

Merdeka? Merdeka dari apa? Belanda su pulang, Jepang su pulang, Spanyol juga su pulang. Hanya tinggal Portugis yang juara piala Eropa. Baru merdeka dari apa?

Begini, tong ambil pengertian pertama saja. Menulis itu mengusahakan kemerdekaan penulisnya.    

Maksudnya mungkin dengan menulis tong ini bisa melepas beban-beban dalam pikiran dan perasaan. Dengan melepas beban tong bisa melepas stress. Selain itu, dengan menulis untuk melepas beban-beban itu sebenarnya tong juga sedang menarik diri dari hidup yang su terlanjur rutin; berulang berputar tanpa dipikirkan lagi.

Artinya, menurut sa, dengan menulis, manusia melawan dorongan rutinitas yang bikin dirinya jadi kayak robot. Jadi serendah seonggok mesin yang sibuk. Jadi macam zombie pemburu karir yang kerja siang malam sampe pucat. Jadi manusia yang su tidak tahu da pu diri sendiri. Ado e, kasihan sampe.

Makanya itu ada yang bilang menulis da bisa menjadi obat kesedihan. Menulis da juga bisa melepas penat dan kejenuhan. Menulis da juga boleh mengembalikan kewarasan. Syaratnya ya itu tadi di atas: menulis sebagai cara mengusahakan kemerdekaan penulis dari jerat hidup "harian yang busuk".

Bagaimana? Cocok ka tarada? K’ers, kam setuju ka tidak?

Salam bae!

***

Kepada Om Felix Tani dan Prof. Pebrianov, maafkan sa karena su ikut cari muka dengan teknik picisan. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun