Belum lama ini, kita menyelami artikel K’ers Yos Mo dan Hanny Setiawan. Terimakasih Anda berdua sudah mengingatkan.
Membaca dua artikel tersebut, jadi ngeri sendiri. Orang yang baru saja berpulang ke rahmatullah kok masih disumpah-sumpahin begitu? Bagaimana perasaan keluarga yang berduka jika membaca status yang seperti itu? Andai posisinya dibalik, apakah mereka yang menyumpah itu cukup bisa bersabar menampung sumpah serapah atas orang tercinta yang baru saja meninggal?
Dari pertanyaan di atas, mungkin pertanyaan paling prinsipilnya: dengan sumpah serapah begitu, tidakkah kita telah mengambil wilayah Tuhan sebagai Sang Maha Adil dan Maha Tahu?
Atau jangan-jangan masalahnya bukan dimana wilayah manusia dan wilayah Tuhan. Masalahnya adalah kebencian itu sendiri sejatinya memang tidak berTuhan (: “membunuh Tuhan?”). Saya dan Anda bisa menjadi pembenci garis depan dan keras kepala tanpa peduli acuan keyakinan.
Soal siapa pun, sejauh manusia, memiliki potensi menjadi pembenci membuat saya selalu teringat pada permenungan almarhum Cak Nur. Cak Nur katakan manusia memiliki dua potensi atau kecenderungan, yakni berjuang pada jalan kebaikan (kecenderungan hanif) atau melayani kehendak pada keburukan (dhaif). Akal, nurani dan perbuatan manusia hidup dalam ketegangan dua kekuatan ini. Manusialah yang memilih menuruti yang mana. Tuhan yang akan menjadi pengadilnya.
Mendudukan kebencian dengan pendasaran “tafsir teologis” seperti ini bukan berarti saya manusia paling bermoral. Sebaliknya, terhadap kebencian, saya memiliki ketakutan yang selalu tumbuh setiap waktu. Saya bisa tiba-tiba menjadi bagian dari barisan pembenci karena kekecewaan dan rasa sakit luar biasa yang tidak pernah bisa saya maafkan. Karena itu yang semestinya saya waspadai adalah diri sendiri. Ditambah lagi, bersama rasa kecewa dan sakit yang tak termaafkan itu, muncul perasaan sudah menggenggam api kebenaran dan karenanya lantas merasa memiliki otoritas menghakimi benar dan salah.
Sekarang pertanyaan berikutnya, di ranah apa kebencian mudah sekali bersemai dan menjadi viral, selain dalam "kehidupan beragama"? Kita tahu jawabnya: ranah politik praktis!
“Perayaan Kebencian” sebagai ekspresi Politik yang Sakit
Ambil saja ilustrasi begini.
Saya menyerang sosok politisi tertentu karena beda pilihan. Serangan itu menjadi makin agresif dan destruktif setelah politisi itu terpilih keadaan makin buruk. Hidup makin sulit. Dalam situasi seperti ini, sejauh saya mengeritik kebijakan atau ide-ide dibalik kebijakan. Padat kata ketidaksukaan atau ketidaksetujuan saya bersandar pada ide-ide, paradigma, atau keyakinan ideologi politik tertentu. Jika begini standing position-nya, maka bolehlah disebut bersikap oposisi yang kritis.
Namun bila saya menyerang atribut fisikal dan kehidupan pribadi sampai ke keluarganya yang sudah meninggal lalu itu menjadi bahan gunjingan banyak jempol, apakah demikian bersikap kritis? Tentu saja tidak. Akal waras pasti tidak menyetujuinya.
Politik yang sakit adalah politik yang hidup bersama caci maki dan sumpah serapah. Apalagi dibumbui fitnah, sempurnalah sudah. Bahkan kolaborasi ketiganya ini terus berkembang menjadi sesuatu yang diterima hingga dirayakan. Menjadi banalitas. Banalitas yang membunuh eksistensi manusia sebagai yang dibekali akal dan hati nurani. Inilah politik yang bukan saja tidak kritis, ia telah mengalami pembusukan.
Kita tahu kritisisme mengandaikan atau akan terpenuhi jika ia didasarkan pada rasionalitas bertanggungjawab dan juga proporsionalitas materinya (keberimbangan dan obyektifitas). Karena itu kritisisme sebenarnya memperbaiki, bukan sekedar menunjukkan sisi yang salah atau cacat. Bersikap kritis itu menyelamatkan, bukan menghancurkan. Kritisisme itu menegur, bukan menghakimi dan lantas merasa benar sendiri.
Kehidupan politik seperti ini—yang sakit—sudah lama dicemaskan Plato dimana oleh karena itu dia menghendaki yang mengurusi politik idealnya para filosof saja.
Tapi Plato yang idealistik itu naif. Politik yang praktis adalah panggung dari segala rupa siasat untuk memenangkan kekuasaan. Kekuasaan adalah sumberdaya yang diperebutkan manusia untuk mengendalikan manusia yang lain. Adalah Machiavelli dari Italia yang menunjukkan jika politik modern tidak begitu. Senada dengan Machiavelli, ada juga sosiolog Italia seperti Vilfredo Pareto yang mengingatkan watak serigala manusia dalam politik.
Maka itu dalam filsafat politik dikenal pula yang politik, selain politik untuk menyebut aktifitas praktisnya. Yang politik lebih pada wilayah gagasan, nilai, cita-cita dan tujuan-tujuan luhur politik. Yang politik pada kita, Indonesia, adalah Pancasila; ia yang kini berwajah muram dan hidup dengan nafas yang megap-megap. Ia yang rajin dipercakapkan namun masih jauh dari pencapaiaan nyata.
Tantangan besar kita ada di sini: sejauhmanakah hidup berbangsa dan bernegara (: hidup dalam politik yang praktis) selalu mengacu pada ideal Pancasila dengan kritisisme yang sehat. Karena akhir dari politik yang sakit, pesan Kiai saya, adalah pertaruhan nasib negara bangsa. Bukan saya, Anda, atau politisi dan partai-partai politik tidak bermakna itu.
Masihkah kita menyediakan diri menjadi alat-alat kebencian dalam politik jika yang kita pertaruhkan adalah nasib negara dan bangsa?
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H