Politik yang sakit adalah politik yang hidup bersama caci maki dan sumpah serapah. Apalagi dibumbui fitnah, sempurnalah sudah. Bahkan kolaborasi ketiganya ini terus berkembang menjadi sesuatu yang diterima hingga dirayakan. Menjadi banalitas. Banalitas yang membunuh eksistensi manusia sebagai yang dibekali akal dan hati nurani. Inilah politik yang bukan saja tidak kritis, ia telah mengalami pembusukan.
Kita tahu kritisisme mengandaikan atau akan terpenuhi jika ia didasarkan pada rasionalitas bertanggungjawab dan juga proporsionalitas materinya (keberimbangan dan obyektifitas). Karena itu kritisisme sebenarnya memperbaiki, bukan sekedar menunjukkan sisi yang salah atau cacat. Bersikap kritis itu menyelamatkan, bukan menghancurkan. Kritisisme itu menegur, bukan menghakimi dan lantas merasa benar sendiri.
Kehidupan politik seperti ini—yang sakit—sudah lama dicemaskan Plato dimana oleh karena itu dia menghendaki yang mengurusi politik idealnya para filosof saja.
Tapi Plato yang idealistik itu naif. Politik yang praktis adalah panggung dari segala rupa siasat untuk memenangkan kekuasaan. Kekuasaan adalah sumberdaya yang diperebutkan manusia untuk mengendalikan manusia yang lain. Adalah Machiavelli dari Italia yang menunjukkan jika politik modern tidak begitu. Senada dengan Machiavelli, ada juga sosiolog Italia seperti Vilfredo Pareto yang mengingatkan watak serigala manusia dalam politik.
Maka itu dalam filsafat politik dikenal pula yang politik, selain politik untuk menyebut aktifitas praktisnya. Yang politik lebih pada wilayah gagasan, nilai, cita-cita dan tujuan-tujuan luhur politik. Yang politik pada kita, Indonesia, adalah Pancasila; ia yang kini berwajah muram dan hidup dengan nafas yang megap-megap. Ia yang rajin dipercakapkan namun  masih jauh dari pencapaiaan nyata.
Tantangan besar kita ada di sini: sejauhmanakah hidup berbangsa dan bernegara (: hidup dalam politik yang praktis) selalu mengacu pada ideal Pancasila dengan kritisisme yang sehat. Karena akhir dari politik yang sakit, pesan Kiai saya, adalah pertaruhan nasib negara bangsa. Bukan saya, Anda, atau politisi dan partai-partai politik tidak bermakna itu.
Masihkah kita menyediakan diri menjadi alat-alat kebencian dalam politik jika yang kita pertaruhkan adalah nasib negara dan bangsa?
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H