Saya mendapati khutbah hari raya yang buruk pagi tadi.
Tapi sebelum saya bercerita terlalu jauh, baiknya diketahui lebih dahulu jika pagi ini saya bangun dengan badan yang meriang. Saya kurang sehat sejak kemarin sore. Saya mungkin kelebihan lelah mempersiapkan hari raya di rumah.
Harus membersihkan ini dan itu. juga belanja ini dan itu. Tenaga habis, uang simpanan juga. Ini bukan berlebihan. Saya hanya ini mereka yang bertamu merasakan disambut dengan baik.
Sesudah mandi saya memakai pakaian yang baik, bukan baru dan berjalan dalam rombongan kecil menuju masjid. Setiba di dekat masjid, beberapa orang bapak sedang duduk. Mereka adalah saudara Kristiani yang ikut menjaga keamanan prosesi sholat Idul Fitri.
“Selamat pagi,” ucap saya. Sembari tersenyum, mereka membalas sapa pagi saya. Saya masuk ke halaman masjid dan mengambil shaf yang mulai padat terisi. Tak lama kemudian shalat Id dilaksanakan dan tibalah saat menyimak khutbah.
Seorang bapak yang juga pegawai pemerintah mulai khutbahnya. Sesudah menyampaikan puji dan puji kehadirat Allah SWT dan shawalat serta salam kepada baginda Nabi Muhammad SAW, dia masuk ke inti khutbah.
Pertama, dia menceritakan penderitaan umat Islam di dunia. Penderitaan yang diakibatkan oleh bencana ekologis, seperti banjir dan tanah longsor. Si Khatib berpesan tentang pentingnya solidaritas sesama Umat (Ukhuwah Islamiah). Selanjutnya dia masuk pada bencana yang diakibatkan perseteruan ideologi, politik dan perang. Ia menyebut kondisi kaum muslim yang menjadi minoritas dan hidup dalam penindasan. Suara si khatib mulai tinggi.
Saya tertunduk. Dalam hati berharap ia mengeritik mereka yang baru saja membom tanah suci atau negeri-negeri muslim. Tapi tak ada. Tak satu pun “kata-kata keras keluar”. Saya mulai gerah. Mengapa ia menutup mata atas kekejian yang tumbuh dalam umat Islam dan memakan saudaranya?
Saya ingin sekali berdiri dan pergi. Tapi tentu tidak saya lakukan. Khutbah merupakan bagian dari kesempurnaan shalat Idul Fitri. Saya tetap duduk dengan antusiasme yang meredup.
Kedua, dia mengajak mengenang orang tua, keluarga. Dosa-dosa yang yang sudah kita perbuat kepada mereka, baik yang masih hidup atau pun tidak. Dia berusaha membangun sugesti keharuan dengan menekan bagian-bagian yang sedih dari kondisi orang tua. Bahasa yang sama diulang-ulangnya. Beberapa terkesan diulang sambil menyedu-sedukan suara.
Tapi saya jadi tambah jengah. Jumat kemarin saya juga mendengar khutbah sejenis. Kata-katanya persis. Lagi pula saya tidak bisa bersedih mengenang orang tua di depan cara menyampai yang memaksakan kesedihan. Bagi saya, kesedihan yang jujur sering berkawan sendiri dan sepi. Ini yang saya alami.